Rabu 16 Dec 2020 15:12 WIB

Apakah UU Cipta Kerja Merugikan Pekerja? Ini Kata Ekonom UI

Indonesia mendapatkan bonus demografi tetapi bisa menjadi bencana jika tak diatasi.

Ilustrasi Pertumbuhan Investasi
Foto: Pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Investasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam angkat bicara soal banyaknya pertanyaan apakah UU Cipta Kerja merugikan pekerja? Menurutnya, bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja. Artinya, UU Cipta Kerja jelas ada perspektif yang ditujukan untuk melindungi pekerja dan calon pekerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka penjang.

Ia berkata, berdasarkan data, Indonesia mengalami peningkatan angkatan kerja sebanyak 3 juta per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, di mana dari setiap 1 persen ekonomi hanya bisa menyerap pertumbuhan 250.000 angkatan kerja baru.

Artinya, kata dia, kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, maka hanya bisa menyerap sekitar 1.250.000 angkatan kerja baru. Berarti, ada sekitar 1.750.000 masyarakat Indonesia yang baru lulus kuliah dan lulus SMK yang termasuk angkatan tenaga kerja baru yang tidak akan terserap.

“UU Cipta kerja ini adalah perspektif calon pekerja, itu utamanya. Karena dia akan menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Setiap tahun berapa calon pekerja yang muncul, mereka harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan baru,” kata dia menjelaskan dalam Webminar UU Cipta Kerja, Selasa (15/12).

Piter juga menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, pesangon pekerja yang kena PHK memang dikurangi, tapi tidak merugikan bagi pekerja. Mengapa tidak merugikan? Karena di balik penurunan ini, ada kepastian bahwa itu akan terbayarkan.

Menurutnya, mana yang lebih menguntungkan, diberi iming-iming pesangon 32 kali tapi tidak bibayar atau pesangon 25 kali tapi pasti terbayar. “Saya pasti milih yang 25 kali,” kata dia menegaskan.

Mengapa ini pasti akan dibayar, tegas Piter, karena klausulnya tidak lagi menjadi perdata, tapi pidana. Artinya, kalau perusahaan tidak membayar pesangon maka dia terkena kasus pidana dan bisa dipidanakan. Dia juga menjelaskan perbedaan antara perdata dan pidana.

Menurutnya,kalau perdata persoalannya bisa panjang dan bebannya ada di pekerja. Kalau perusahaannya tetap tidak bersedia membayar, maka pihak pekerja harus menuntut dan biayanya ada pada pihak penuntut.

“Tapi kalau itu pidana, maka pengusaha berhadapan dengan negara. Artinya, negara ada di depan para pekerja, melindungi pekerja, berhadapan dengan para pengusaha. Bagaimana mungkin kita mengatakan pemerintah tidak berpihak pada pekerja, ini kan jelas-jelas negara berpihak kepada pekerja. Dalam hal pesangon jumlahnya memang turun tapi diberikan kepastian,” kata dia memaparkan.

UU Cipta Kerja juga menurut Piter, melindungi pekerja dalam konteks PHK. Dalam Pasal 151 UU Cipta Kerja disebutkan perusahaan pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. Dana kalaupun terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan  penyelesaikan perselisihan hubungan industri. "Artinya, ini jelas sekali tidak ada ruang pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pekerja."

Dalam Pasal 153 disebutkan perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya. Ini merupakan bukti jika  pemerintah melindungi pekerja.

“UU Ciptaker adalah UU yang sangat baik. UU ini memang belum sempurna tapi pemerintah sudah memberikan kesempatan untuk memberikan masukan. Masih ada proses yang masih berjalan, pembahasan turunan UU,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement