REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta Menkopolhukam Mahfud MD untuk ikut bertanggung jawab terkait kekisruhan yang muncul sejak Habib Rizieq Shihab (HRS) mendarat di Tanah Air. Sebab, menurut Ridwan Kamil dari awal Mahfud mengizinkan dilakukannya penjemputan Imam Besar FPI itu di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, pada 10 November 2020 lalu.
Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi menilai tak ada motif politik dalam pernyataan Ridwan Kamil di Polda Jabar. Karena, justru Ridwan Kamil ingin ungkap fakta politik yang sebenarnya.
"Bentuk tanggung jawab dan sekaligus profesionalitas Ridwan Kamil dalam melihat dan menyelesaikan kasus ini, ada akar persoalan yang terletak pada mereka yang harus bertanggung jawab tapi, tapi tak mau mengambil tangung jawab dan menimpakan beban kesalahan kepada Polda dan kepala daerah ya, di mana Mahfud MD sebagai salah satu pihak yang memberikan sinyal," ujar Karim saat dihubungi wartawan Rabu (16/12).
Menurutnya, penyambutan massa HRS itu di awal seperti dibiarkan bukan hanya oleh Mahfud MD, tapi juga pihak lain. Misalnya, kenapa BIN tidak beroperasi kalau memang melarang.
"Pihak Istana tidak melarang, kalau pulang ya pulang saja, jadi menurut saya Mahfud MD seperti gunung es," katanya.
Karim mengatakan, Ridwan Kamil sedianya tak hanya membidik Mahfud MD sebagai satu-satunya pihak yang harus ikut bertanggung jawab. Tetapi, juga segelintir orang di lingkungan Istana dan otoritas keamanan yang lebih tinggi, tidak hanya di lingkungan Polda Jabar dan Polda DKI Jakarta.
"Saya tidak melihat ada motif politik di balik pernyataan RK, akan menembak siapa, menyeret siapa," katanya.
Menurutnya, Ridwan Kamil hanya mengungkap fakta politk yang sebenarnya. Jadi, jangan sampai ada pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab tapi menimpakan itu kepada polisi daerah dan gubernur dalam hal ini gubernur DKI dan gubernur Jabar.
"Nah apakah itu bisa dipandang sebagai keberanian? Bisa dipandang begitu atau setidak-tidaknya bisa dilihat sebagai bentuk kejernihan dalam melihat persolan ini menurut saya apa yang terjadi belakangan ini," katanya.
Menurut Karim, penangkapan, penembakan, pemanggilan HRS, dan pengikutnya kemudian (pemanggilan) gubernur, pencopotan kapolda itu adalah gejalanya bukan akar persoalan. "Jadi ibarat pemerintah atau aparat keamanan yang lebih tinggi melihat api menyala di kayu tapi hanya mengipas-ngipasi atau berusaha mengurangi agar asapnya tidak begitu pekat," katanya.
Padahal, kata dia, seharusnya yang dilakukan, otoritas di republik ini dalam menutaskan kasus HRS ini kayunya yang diambil bukan menghilangkan atau menutupi asapnya, atau mengipasi agar apinya lebih kecil, tapi kayu bakarnya di ambil, akar persoalannya harus diselesaikan.
Karim menilai, tak tuntasnya permasalahan hukum yang menjerat HRS selama ini bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum. "Saya dan siapapun ingin melihat kasus ini dilihat secara hukum, objektif pendekatannya yuridis formal berkeadilan itu yang ingin saya lihat. Sehingga tidak merembet kemana-mana dan hanya mengatasi gejala," katanya.
Seperti diketahui sejumlah pejabat dari tingkat gubernur hingga tingkat RT diperiksa oleh kepolisian terkait kerumunan yang terjadi dalam kegiatan yang dihadiri HRS, baik di Petamburan Jakarta maupun Megamendung Bogor. Imbasnya juga, dua Kapolda di Jabar dan DKI Jakarta dicopot dari jabatannya, mereka adalah Irjen Pol Rudy Sufahriadi dan Irjen Pol Nana Sudjana.
"Kalau begini terus akan melebar menurut saya, jadi menurut saya harus dicari akar permasalahnnya, meskipun dia diam dan menuduh orang lain harus diperiksa juga," katanya. "Jangan sampai kasus HRS ini jadi kekuatan yang dijadikan mengipasi api kebencian," katanya.