REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melanjutkan sinema Wonder Woman rilisan 2017 silam, sekuel Wonder Woman 1984 (WW84) resmi tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu (16/12) setelah mengalami perubahan jadwal tayang berkali-kali akibat pandemi. Sutradara Patty Jenkins kembali mengarahkan film, dengan pemeran utama Gal Gadot.
Penggemar semesta sinematik DC diajak menyimak petualangan baru Wonder Woman alias Diana Prince, namun dengan latar waktu berbeda. Kini semua jauh lebih modern di tahun 1980-an, jika dibandingkan dengan era 1918 pada sekuel pertama.
Pada 1984, Diana (Gal Gadot) tetap melanjutkan aksi heroiknya membantu siapapun yang kesulitan dan mengenyahkan penjahat. Selain menjadi pahlawan super, dia juga berprofesi sebagai antropolog di sebuah pusat riset dan museum.
Diana memiliki kawan baru, ilmuwan canggung bernama Barbara Minerva (Kristen Wiig). Mereka sama-sama memeriksa sejumlah barang peninggalan bersejarah. Diana berusaha bersikap ramah sambil tetap menyembunyikan identitas aslinya.
Dengan semua aktivitas itu, Diana tetap merasakan lubang besar dalam hidupnya. Hatinya masih terhanyut rasa kehilangan akibat tewasnya sang kekasih, Steve Trevor (Chris Pine). Sama sekali tak disangka, mendadak Steve kembali ke kehidupannya.
Bersama dengan itu, hal-hal janggal mulai bermunculan. Semua berujung pada kekacauan di seluruh dunia. Sebuah persimpangan memaksa Diana memilih, tetap mempertahankan kebersamaan dengan Steve atau menyelamatkan dunia dari bahaya besar.
Sebagai Wonder Woman, sekali lagi Gal Gadot berhasil menghadirkan jagoan perempuan dengan segala sisi humanisnya. Meski punya kekuatan tak tertandingi, Diana juga merasakan berbagai kecamuk perasaan dan emosi yang tidak bisa dia lawan.
Semua itu membuat penonton terbawa selama 151 menit dengan beragam emosi. Dibandingkan sinema pendahulunya, sekuel ini cukup apik dengan pengembangan karakter memuaskan. Aksi Gal Gadot pun semakin memukau, ditambah kostum keren baru yang dia pakai.
Ada dua tokoh musuh yang dihadapi Diana, yakni Max Lord dan Cheetah. Film dengan tekun menunjukkan bagaimana proses kedua karakter tersebut sampai akhirnya menyeberang ke 'sisi gelap', sehingga rasanya sulit melakukan penghakiman.
Hanya saja, keseimbangan demikian terganggu kelemahan pada cerita, terutama aspek mitologi dan momen 'keajaiban' yang dihadirkan. Salah satunya, wujud kembalinya Steve terasa sedikit tidak masuk akal, begitu juga cara kerja 'permintaan' yang memicu pertanyaan.
Sinema untuk 13 tahun ke atas ini pun terkesan berusaha keras untuk memasukkan keberagaman warga dunia serta menyoal keadilan sosial. Alih-alih menginspirasi, pada beberapa bagian malah tampak tidak wajar dan kelewat berlebihan.
Usai adegan terakhir, tak perlu menunggu lama untuk menantikan tayangan tambahan pascakredit. Berbeda dengan film-film besutan semesta komik 'sebelah', kali ini sineas DC rupanya tak mau repot-repot menghadirkan tayangan tambahan yang menghibur.