REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengungkapkan lima hal yang perlu dicermati agar masyarakat di tanah air memahami akar masalah kegaduhan hubungan Indonesia-Israel. Pertama, kata ia, apa yang diwartakan oleh The Times of Israel bukanlah pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia maupun Israel.
"The Times of Israel hanya mengutip dari media televisi di Israel yang mengutip pejabat Israel yang tidak disebutkan identitasnya," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Dalam sepekan ini, kegaduhan muncul terkait berita tanggal 11 Desember dari The Times of Israel yang mewartakan bahwa Indonesia berkeinginan untuk membangun hubungan dengan Israel, setelah sejumlah negara Arab melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Kedua, lanjut dia, The Times of Israel hanya menyebut kata hubungan publik atau dalam bahasa Inggris public ties tanpa menyebut apakah hubungan tersebut adalah hubungan diplomatik (diplomatic ties).
Ketiga, sebagaimana telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak akan mengakui Israel sebagai negara dan membuka hubungan diplomatik sebelum Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Kebijakan itu sesuai dengan preambul dari Undang-undang Dasar 1945.
Presiden Jokowi pun dalam pembicaraan melalui sambungan telepon 16 Desember dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, lanjut Hikmahanto, mendapat apresiasi dariAbbasbahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka.
"Keempat, sudah lama para pelaku usaha dan profesional asal Israel mengunjungi Indonesia, dan sebaliknya warga Indonesia melakukan kunjungan wisata religi ke Israel," ujar Hikmahanto, yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal AchmadYani itu.
Terkait kunjungan pelaku usaha dan profesional Israel ke Indonesia maka mereka harus mendapatkan calling visa, kata Hikmahanto.
Calling visa adalah izin masuk yang harus didapatkan oleh pelaku usaha dan profesional melalui undangan atau sponsor dari pihak Indonesia yang membutuhkan.
Izin masuk tersebut berbeda dengan yang diwajibkan pada warga dari kebanyakan negara sahabat Indonesia, yang dapat meminta visa untuk masuk ke Indonesia tanpa undangan atau sponsor dari pihak Indonesia, ujar Hikmahanto. "Kelima, selama ini bila warga Israel mendapat undangan untuk datang ke Indonesia maka mereka harus mengajukan permohonan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara mengingat Indonesia tidak memiliki kedutaan di Israel," ujar Hikmahanto.
Mengingat birokrasi yang panjang bagi warga Israel yang diundang oleh pihak Indonesia, lanjut Hikmahanto, Kemenkumham melalui Direktorat Jenderal Imigrasi hendak memotong birokrasi tersebut.
"Calling visa tidak perlu lagi untuk dimohonkan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara tetapi langsung ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Di sinilah letak permasalahan karena mungkin pejabat Israel yang menyampaikan ke media Israel menganggap inisiatif Ditjen Imigrasi sebagai keinginan Indonesia untuk membangun hubungan publik. Dalam bahasa The Times of Israel 'was eager to have public ties with Israel'," kata Hikmahanto.
Terlepas dari kegaduhan yang sempat muncul, ujar dia, pejabat publik harus memahami sensitivitas publik Indonesia bila terkait dengan Israel.
Ia mengatakan meski Indonesia dan Israel dalam kenyataannya sudah melakukan hubungan people to people (antarmasyarakat)namun bila hendak dikonkretkan bisa menuai masalah.
Almarhum Gus Dur, lanjut Hikmahanto, saat menjadi Presiden RI banyak menuai protes saat menyampaikan kebijakan akan menormalisasi hubungan dagang Indonesia dengan Israel. "Padahal hubungan dagang yang dimaksud sama sekali berbeda dengan hubungan diplomatik," kata Hikmahanto.
Indonesia dan Taiwan, lanjut dia, misalnya, meski tidak memiliki hubungan diplomatik namun memiliki hubungan dagang. "Pelajaran bagi para pejabat publik adalah bila hendak membuat kebijakan yang sensitif di mata masyarakat maka mereka harus pandai dalam menarasikan," kata Hikmahanto.