REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta mengingatkan umat Islam untuk tetap memantau perkembangan penyusunan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dinamika yang terjadi di masyarakat belakangan diharapkan tak mengendurkan pengawasan terhadap regulasi tersebut.
"Jadi bagaimana kita bisa ke depannya terus mengawasi dan kalau perlu memberi masukan-masukan. Jangan lupakan UU Ciptaker," kata Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI DKI, Faiz Rafdhi, dalam webinar bertajuk "Omnibus Law, Musibah atau Berkah", yang digelar MUI DKI, Kamis (17/12).
Faiz menyatakan, belakangan banyak kejadian yang menyita perhatian masyarakat seperti penembakan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan penangkapan pimpinan mereka Habib Rizieq Shihab (HRS). Kendati demikian, kejadian itu menurut dia sebenarnya kalah signifikan ketimbang dampak UU Cipta Kerja pada umat kedepannya.
Regulasi tersebut, dia mengingatkan, akan berdampak pada pengelolaan sumber daya alam, kelestarian lingkungan hidup, ketenagakerjaan, juga persoalan regulasi halal. Semua sektor itu, kata Faiz, ada kaitannya dengan ajaran Islam.
UU Cipta Kerja mula-mula diusulkan pemerintah pada Februari 2020 lalu. DPR kemudian membahas regulasi itu pada April hingga akhirnya disahkan pada 5 Oktober lalu.
Dalam perjalanannya rancangan regulasi itu mengalami berbagai perubahan substansi. Meski begitu, penolakan sejumlah pihak terus mengemuka, utamanya terkait isu sentralisasi, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup, dalam undang-undang tersebut.
Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), M Kholid Syeirazi, menilai semangat UU Cipta Kerja yang ekstraktif patut dicermati. "Undang-undang ini seperti karpet merah untuk korporasi," ujarnya.
Dia menyatakan, regulasi itu juga berpotensi menjadikan pemerintah pusat sekadar sebagai panitia pembagi-bagi konsesi. Meski begitu, dia mengingatkan bahwa keberatan terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan secara konstitusional, misalnya melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Maneger Nasution, menyoal pembentukan UU Cipta Kerja. Menurutnya undang-undang tersebut dibentuk tanpa transparansi dan pelibatan elemen masyarakat. Sebab itu, UU Ciptaker berpotensi melanggar banyak ketentuan formal perundang-undangan.
"Misalnya ada pasal yang mengatur bahwa PP (peraturan pemerintah) bisa mengubah undang-undang," kata Maneger dalam webinar tersebut. Dia juga menilai pengesahan regulasi itu sebagai bentuk pengabaian anggota DPR terhadap aspirasi masyarakat.
Di sisi lain, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI DKI Jakarta, Dr Muhammad Maksum, menilai ada sisi positif bagi umat Islam dalam UU Cipta Kerja. Di antaranya soal bantuan bagi sertifikasi halal untuk UMKM, regulasi terkait haji dan umroh, serta aturan pembentukan koperasi syariah. Meski begitu, dia juga menyayangkan dilemahkannya posisi MUI dalam regulasi-regulasi tersebut.