Kamis 17 Dec 2020 22:22 WIB

Kemiskinan Parah, Anak Perempuan Sudan Ditukar dengan Sapi

Pandemi Covid-19 memperparah praktik perdagangan anak perempuan di Sudan Selatan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Penduduk Sudan Selatan
Foto: Reuters
Penduduk Sudan Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Insiden orang tua yang menukar anak perempuan dengan sapi meningkat di Sudan Selatan. Hal ini memicu praktik pernikahan anak di negara Afrika Timur-Tengah yang terkurung daratan itu.

Kebiasaan tersebut dinilai sudah berbahaya bagi pemerintahan negara tersebut. Kepala pemerintah daerah meminta pemerintah di ibu kota Juba memberlakukan undang-undang yang kuat untuk melarang praktik tersebut. 

Baca Juga

Kepala Wilayah Pemerintahan Pibor, James Konyi Korok mengungkapkan situasi yang mengkhawatirkan di Sudan Selatan. Dia mengatakan orang tua menikahkan anak perempuan mereka di bawah umur karena kemiskinan. 

"Kami ingin LSM yang menangani masalah hak asasi manusia dan pemerintah untuk maju dan membuat undang-undang yang komprehensif yang memungkinkan masyarakat menghentikan pernikahan anak," ujarnya seperti dikutip laman Anadolu Agency, Kamis (17/12). 

Menurutnya, tanpa undang-undang, siapapun tidak dapat mengakhiri praktik tersebut. "Tanpa hukum yang tepat, seorang kepala suku tidak dapat menghentikan praktik tersebut. Kalau ikut campur berarti mengundang masalah," ujarnya.

Korok mengungkapkan bahwa orang tua menukar anak perempuannya untuk mendapatkan 60 ekor sapi. Jika anak laki-laki kawin lari dengan anak perempuan, maka keluarganya harus membayar 80-100 ekor sapi.

Pendidikan diakui berperan penting dalam mengurangi praktik tersebut. Sayangnya, pendidikan anak telah berkurang di beberapa daerah. Praktik penjualan anak perempuan juga masih bermunculan di banyak daerah lain.

"Kebijakan sekolah adalah memberitahu kita bahwa biarlah anak-anak dididik dan itu yang berperan, menumbuhkan kesadaran di antara masyarakat, sebagian sudah menerima untuk mengakhiri perkawinan anak tapi sebagian lagi masih mempraktikkannya," ujar Korek.

Menurutnya, ketidakamanan daerah ditambah dengan banjir membuat para kepala desa sulit berpindah dari desa ke desa untuk memeriksa dan menghentikan praktik tersebut. Sementara itu, James Kiir Wal, kepala pusat Malakal mengatakan bahwa praktek orang tua menikahi gadis-gadis muda telah berhenti sebagian besar karena terimbas pandemi Covid-19. 

"Pernikahan anak-anak menurun di antara orang tua. Tapi itu adalah praktik umum di kalangan remaja. Wabah Covid-19 juga memperburuk praktik tersebut," kata Wal.

Direktur Eksekutif Yayasan Demokrasi dan Pemerintahan yang Bertanggung Jawab James David Kolok mengatakan praktik pernikahan anak merupakan fenomena yang sangat serius. Menurutnya, praktik pernikahan anak sudah terendus pemerintah.

"Ini bukan hanya masalah kepekaan, ini adalah masalah diversifikasi mata pencaharian sehingga komunitas ini dapat mengidentifikasi opsi lain untuk meningkatkan sumber daya," katanya.

Di Sudan Selatan, 52 persen dari semua anak perempuan menikah sebelum mereka mencapai usia 18. Sekitar sepertiga dari semua anak perempuan hamil sebelum berusia 15 tahun yang merampas hak-hak dasar mereka.

Sudan Selatan adalah salah satu negara dengan praktik budaya yang mengakar kuat dan kejahatan sosial yang terkait dengan gender. Menteri Gender, Anak dan Kesejahteraan Sosial Ayaa Sudan Selatan, Benjamin Warille menyerukan untuk memikirkan cara yang lebih strategis untuk mengakhiri praktik pernikahan anak. Dia mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengakhiri kejahatan sosial ini pada 2030.

Rencana Aksi Nasional strategis untuk mengakhiri perkawinan anak telah dimulai pada tahun 2017. Kebijakan itu mendesak masyarakat untuk mengembangkan rencana mereka untuk mengakhiri praktik itu. Warille mencatat bahwa 50 persen wanita di negara tersebut menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.

Pemerintah telah memprioritaskan perlindungan anak, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sesuai dengan Konstitusi Transisi 2011 dan UU Anak 2008 dalam upaya untuk mengakhiri praktik pernikahan anak. Untuk mengatasi kekerasan berbasis gender, pemerintah Sudan Selatan bekerja sama dengan badan-badan PBB telah membentuk pengadilan khusus baru-baru ini. Menurut kementerian, sebanyak 6.295 insiden kekerasan berbasis gender tercatat dari 1 Januari-30 September tahun ini.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement