REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi anemia akibat kekurangan besi atau anemia defisiensi besi (ADB) bisa dialami siapa saja, termasuk anak dan wanita hamil. Anemia memiliki dampak yang bisa saja terlihat dalam jangka pendek hingga waktu yang panjang.
Dokter spesialis gizi dan Ketua Departemen Ilmu Gizi FK UI, Nurul Ratna Mutu Manikam merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengatakan, kondisi itu dialami 37,1 persen pada ibu hamil di tahun 2013. Kalu meningkat menjadi 48,9 persen pada 2018 atau lebih tinggi dari angka global yakni sebesar 38 persen.
"Jumlah ibu hamil yang mengalami anemia berusia 15-24 tahun, 84,6 persen berusia muda mugkin belum siap mempersiapkan kehamilan, tingkat edukasi dan pemahaman kurang tentang anemia, terutama zat gizi," kata Nurul Ratna Mutu Manikam dalam webinar "Kekurangan Zat Besi Sebagai Isu Kesehatan Nasional di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Kemajuan Anak Generasi Maju", Kamis (17/12).
Menurut Riskesdas 2013, pada anak, kelompok usia 12-24 bulan menjadi yang terbanyak mengalami anemia dengan presentase 36,1 persen. Kemudian, diikuti kelompok usia 25-36 persen (28,4 persen), usia 49-60 bulan (19,2 persen) dan umur 37-48 bulan sebanyak 16.3 persen.
"Di dunia, 47 persen anak mengalami anemia dan 50-60 persen karena defisiensi zat besi yang (sebenarnya) bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari," tutur Nurul.
Penyebab kekurangan ini antara lain akibat pola konsumsi kurang asupan protein terutama sumber hewani, kurang konsumsi fortifikasi zat besi dalam makanan dan formula pertumbuhan. Kemudian, kurangnya pemberian suplementasi zat besi tidak sesuai indikasi, tidak patuh minum suplementasi karena ada keluhan mual dan penyerapan zat besi yang tidak optimal.
"Perempuan dan laki-laki punya risiko yang sama kekurangan zat besi," jelas Nurul.