Ahad 20 Dec 2020 14:00 WIB

Palestina Khawatir atas Penyewaan Tanah Gereja Armenia

Penyewaan tanah gereja Armenia dikhawatirkan Palestina.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Hafil
 Palestina Khawatir atas Penyewaan Tanah Gereja Armenia. Foto:  Gereja HKBP (Ilustrasi)
Palestina Khawatir atas Penyewaan Tanah Gereja Armenia. Foto: Gereja HKBP (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,AMMAN – Kesepakatan sebelumnya yang tidak diketahui untuk mengubah tanah sensitif di kota tua Yerusalem menjadi tempat parkir pada akhinya sebagian besar untuk penggunaan eksklusif penduduk Yahudi di kota tua. Hal ini menyebabkan keprihatinan bagi kepemimpinan Palestina dan anggota komunitas kecil Armenia.

Kontrak tersebut akan berlaku pada 1 Januari 2021. Pejabat Patriarkat Armenia mengonfirmasi perjanjian itu, tetapi dia bersikeras kontrak dengan pemerintah kota Yerusalem Israel dan Otoritas Pembangunan Yerusalem (Harali) yang berpusat pada Yahudi tidak merupakan penjualan atau sewa-menyewa tanah. Jadi, kontrak itu hanya operasi keuangan.

Baca Juga

Patriarkat Armenia mengatakan pemindahan seluruh bumi dari sebidang tanah akan menghabiskan biaya sekitar 2 juta dolar Amerika. Menurut sebuah pernyataan Departemen Real Estat Patriarkat Armenia, pemindahan tersebut merupakan kewajiban finansial yang patriarkat tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya. Pernyataan tersebut mengatakan upaya untuk mendapatkan dukungan dari banyak badan pemerintah telah menemui hambatan. Sebagai gantinya, pemerintah kota dan Harali akan memiliki akses ke 90 tempat parkir.

Tetapi kontrak lima halaman mencatat, pada pasal 2a, bahwa biaya mengangkat puing-puing akan dianggap sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali oleh gereja.

Komite Kepresidenan Tinggi Urusan Gereja di Palestina menulis kepada Patriark Armenia Nourhan Manoogian untuk mengingatkan dia bahwa wilayah Armenia adalah bagian dari wilayah Palestina yang diduduki dari resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Termasuk pula Resolusi UNSC 2017 2334 yang berlaku. Surat itu juga mencatat perjanjian antara Raja Yordania Abdullah dan Presiden Abbas pada 2013 ditetapkan untuk mengatur tempat-tempat suci Kristen dan Muslim di Yerusalem.

Surat yang ditandatangani oleh Direktur Komite, Ramzi Khoury meminta Patriarkat Armenia untuk mematuhi hukum internasional dan mengatakan Israel memiliki ambisi ekspansionis, terutama di area Lapangan Omar Bin Khatab dan wilayah Armenia di kota tua. Berdasarkan sumber Palestina, Presiden Arafat menolak untuk menyerahkan wilayah Armenia selama negosiasi tahun 2000 di Camp David.

Sumber Palestina yang dihormati dari komunitas Armenia mengatakan dia merasa ada yang tidak beres dengan menambahkan Patriarkat Armenia saat ini tidak bisa dipercaya.

“Saya pikir ini bukan pertama kalinya Patriarkat Armenia mencoba menjual tanah dan orang-orang Yerusalem kepada Israel dan orang-orang di kota menentangnya," kata Pemimpin Palestina tanpa menyebut nama, dilansir Arab News, Ahad (20/12).

Sumber Palestina/Armenia membantah klaim bahwa gereja tidak punya pilihan selain pergi ke Israel setelah permintaan berulang untuk dukungan keuangan dari Pemerintah Palestina dan lainnya ditolak. Uni Eropa tertarik untuk memperbaiki tempat parkir dengan cara yang memungkinkan. Sementara mereka mengizinkan semua orang di kota tua untuk menggunakannya, tetapi gereja menolak tawaran tersebut.

Pernyataan resmi 10 poin yang dikeluarkan oleh Departemen Real Estat Patriarkat Armenia menyatakan tempat parkir akan tetap menjadi milik pribadi dan manajemen kepemilikan tempat parkir akan tetap berada di tangan Patriarkat.

Pernyataan itu juga menyoroti dalam 10 tahun ke depan, setelah Patriarkat menyelesaikan dan menerima semua izin konstruksi, Patriarkat akan memulai pembangunan baru yang akan menguntungkan komunitas Armenia. Patriarkat berharap mendapat izin untuk membangun hotel.

Pendeta Armenia sering mengeluh tentang agama Yahudi. Pada Maret 2020, polisi Israel untuk pertama kalinya sejak 1967, mendenda seorang pemuda Yahudi sebanyak 1.500 syikal Israel atau 463 dolar Amerika karena meludahi seorang uskup Armenia setahun sebelumnya.

Warga Palestina telah memboikot kota bersatu Yerusalem sejak 1967 dan menganggap Otoritas Pembangunan Yerusalem sebagai perpanjangan tangan dari kelompok-kelompok radikal Yahudi yang berniat untuk menghakimi kota tua Yerusalem dengan mengorbankan penduduk asli Arab Palestina. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement