Ahad 20 Dec 2020 13:18 WIB

Survei: Potensi Radikalisme di Indonesia Menurun

Literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif.

Kepala BNPT Komjen Pol  Dr  Boy Rafli Amar  MH.
Foto: Dok BNPT
Kepala BNPT Komjen Pol Dr Boy Rafli Amar MH.

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Survei Nasional BNPT 2020 tentang radikalisme di sela-sela pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Forum Koordinaasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Nusa Dua, Bali, tengah pekan lalu. Dari hasil penelitian itu ditemukan fakta bahwa potensi radikalisme tahun 2020 menurun, terjadi feminisasi radikalisme, urbanisasi radikalisme, radikalisasi generasi muda dan netizen, serta literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif melawan radikalisasi.

Dari survei yang dilaksanakan dengan bekerja sama dengan Alvara Strategi Indonesia, The Nusa Institute, Nasaruddin Umar Office, dan Litbang Kementerian Agama (Kemenag) tersebut didapat fakta bahwa indeks Indeks potensi radikalisme mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Indeks potensi radikalisme tahun 2020 mencapai 14.0 (pada skala 0-100) atau 12,2 persen (dalam persentase) menurun dibanding tahun 2019 yang mencapai 38.4 (pada skala 0-100).

"Tentunya ini merupakan kabar gembira, artinya kerja-kerja kontra radikalisme telah membuahkan hasil. Menurunnya potensi radikalisme, jangan sampai membuat seluruh elemen yang terlibat dalam kerja-kerja kontra radikalisme menjadi berpuas diri dan terlena. Justru harus terus lebih keras lagi melakukan diseminasi untuk melawan propaganda kelompok radikal intoleran dan radikal terorisme," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam siaran persnya, Ahad (20/12).

Boy Rafli menambahkan masalah proses radikalisasi di Indonesia secara global memang cenderung menurun. Sesuai global index terrorism, Indonesia menempat urutan ke-37. Di ASEAN, posisi itu lebih rendah dibandingkan Filipina dan Thailand.

Namun demikian, Boy menilai, kewaspadaan harus terus dilakukan. Ia melihat bahwa penetrasi dari jaringan teroris internasional dalam proses radikalisasi itu dengan keberadaan dunia maya atau digital tidak bisa dihindarkan. Pasalnya, kelompok teroris itu melihat pangsa pasarnya seperti generasi milenial, generasi Z, penggunanya sangat tinggi di dunia maya.

"Mereka tahu karena yang disasar ini anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua. Bagi mereka yang tua itu masa lalu, tapi masa depan mereka adalah generasi muda," kata Boy Rafli.

Selain menurunya potensi radikalisme secara umum, survei juga menemukan terjadinya feminisasi radikalisme dimana indeks potensi radikalisme pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki.  Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3 persen sedangkan indeks potensi radikalisme pada laki-laki pencapai 12,1 persen.

Selain itu juga terjadi urbanisasi radikalisme. Urbanisasi radikalisme merujuk pada lebih tingginya indeks potensi potensi radikalisme dikalangan urban (perkotaan) dibanding dikalangan rural (pedesaan). Temuan penelitian 2020 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme dimasyarakat urban mencapai 12,3 persen dan di masyarakat rural mencapai 12,1 persen..

Selain itu juga terjadi radikalisasi generasi muda dan netizen yang menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12,7 persen; kemudian pada milenial mencapai 12.4% dan pada gen X mencapai 11,7 persen. Hal ini tidak lepas dengan fenomena netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi (12,6 persen) dibanding dengan netizen yang tidak aktif mencari konten keagaman di internet (10,8 persen). Juga netizen  yang suka menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi (13,3 persen) dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan (11,2 persen).

Kepala BNPT menilai, keberadaan jaringan teroris global seperti Alqaeda dan ISIS sangat mempengaruhi cara berpikir netizen terutama generasi muda. Kelompok teroris ini berharap dengan penetrasi melalui dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka yang mengusung ideologi terorisme yang karakternya mengedepankan kekerasan, intoleran, menghalalkan segala cara. Intinya mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia ini.

Selain itu, literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital (yang diukur dari perilaku AISAS) belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004). Perilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebinekaan. Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement