Ahad 20 Dec 2020 21:13 WIB

Pemakaian Gelatin Babi Jadi Isu Perdebatan Kehalalan Vaksin

Vaksin Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca telah dinyatakan bebas gelatin babi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Reiny Dwinanda
Vaksin Covid-19 (ilustrasi). Keberadaan gelatin babi dalam vaksin memunculkan isu kehalalan vaksin.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Vaksin Covid-19 (ilustrasi). Keberadaan gelatin babi dalam vaksin memunculkan isu kehalalan vaksin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca mengatakan, vaksin Covid-19 yang dikembangkannya bebas dari unsur babi. Namun, keterbatasan pasokan dan pesanan bernilai jutaan dolar AS dari perusahaan pengembang vaksin lainnya membuat negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, akan menerima vaksin yang belum tersertifikasi bebas gelatin babi.

Gelatin yang berasal dari babi biasa digunakan sebagai penstabil untuk memastikan vaksin tetap aman dan efektif selama penyimpanan dan pengangkutan. Di lain sisi, sejumlah perusahaan telah bekerja selama bertahun-tahun untuk mengembangkan vaksin bebas babi.

Baca Juga

Perusahaan farmasi yang terkenal meninggalkan gelatin dari babi adalah Novartis dari Swiss. Perusahaan itu telah memproduksi vaksin meningitis bebas babi, sementara AJ Pharma yang berbasis di Arab Saudi dan Malaysia saat ini sedang mengerjakan salah satu vaksinnya sendiri.

Namun, permintaan rantai pasokan yang ada, biaya dan umur simpan yang lebih pendek dari vaksin yang tidak mengandung gelatin babi sangat terbatas. Sekretaris Jendaral British Islamic Medical Association, Salman Waqar, menyatakan, gelatin babi kemungkinan akan terus digunakan di sebagian besar vaksin selama bertahun-tahun.

Kondisi ini menghadirkan dilema bagi komunitas religius, bukan saja Muslim tetapi juga Yahudi Ortodoks. Bagi dua komunitas ini, produk babi dianggap najis secara agama sehingga tidak boleh dikonsumsi.

"Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang apakah Anda mengambil sesuatu seperti gelatin babi dan membuatnya mengalami transformasi kimiawi yang ketat. Apakah itu masih dianggap tidak suci secara agama untuk Anda ambil?” kata Waqar membahas dilema penggunaan babi dalam kesehatan.

Profesor di University of Sydney, Dr Harunor Rashid, menyatakan, dalam perdebatan sebelumnya muncul kondisi diperbolehkan penggunaan gelatin babi dalam vaksin. Hal ini dengan alasan ada bahaya yang lebih besar jika Muslim tidak mendapatkan vaksin.

Ada juga penilaian serupa berdasarkan konsensus yang luas dari para pemimpin agama di komunitas Yahudi Ortodoks. “Menurut hukum Yahudi, larangan makan babi atau menggunakan babi hanya dilarang jika itu adalah cara alami memakannya,” kata ketua Tzohar, sebuah organisasi kerabian di Israel, Rabbi David Stav.

Menurut Rabi Stav, jika disuntikkan ke tubuh, bukan dimakan lewat mulut, maka tidak ada larangan dan tidak ada masalah. "Apalagi jika kita khawatir dengan penyakit," ujarnya.

Hanya saja, masalah ini sempat ramai di Indonesia. Pada 2018, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan vaksin campak dan rubella meski adanya gelatin babi. Namun, tokoh agama dan tokoh masyarakat kemudian mendesak para orang tua untuk tidak mengizinkan anaknya divaksinasi.

"Kasus campak kemudian melonjak, menjadikan Indonesia tingkat campak tertinggi ketiga di dunia,” kata Direktur kelompok riset pasar perawatan kesehatan Research Partnership, Rachel Howard.

Howard menyatakan, keputusan badan ulama yang mengatakan diperbolehkan untuk menerima vaksin bisa terjadi, tetapi tabu budaya masih menyebabkan tingkat vaksinasi yang rendah. “Studi kami menemukan bahwa beberapa Muslim di Indonesia merasa tidak nyaman menerima vaksinasi yang mengandung bahan-bahan ini,” ujarnya.

Pemerintah Malaysia telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Di Malaysia, undang-undang yang lebih ketat telah diberlakukan sehingga orang tua harus memvaksinasi anak-anak mereka atau menghadapi denda dan hukuman penjara. Sementara itu, di Pakistan, orang tua bisa dipenjara karena menolak memberikan vaksinasi polio kepada anak-anak mereka.

Dengan meningkatnya keraguan vaksin dan informasi yang salah yang menyebar ke seluruh dunia, keterlibatan komunitas adalah mutlak diperlukan. Akan menjadi  bencana, jika tidak ada keterlibatan masyarakat yang kuat dari pemerintah dan petugas kesehatan.

Pemerintah Indonesia sudah menyatakan akan menyertakan ulama Muslim dalam proses pengadaan dan sertifikasi vaksin Covid -19. “Komunikasi publik mengenai status halal, harga, kualitas, dan distribusinya harus disiapkan dengan baik,” kata Presiden Joko Widodo pada Oktober.

Para ulama Indonesia juga memeriksa fasilitas Sinovac Biotech China, sementara uji klinis yang melibatkan 1.620 sukarelawan juga sedang dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan vaksin. Pemerintah pun telah mengumumkan beberapa kesepakatan lain pengadaan vaksin Covid-19.

Pakistan sedang melakukan uji klinis tahap akhir dari vaksin CanSino Biologics. Bangladesh sebelumnya memiliki kesepakatan dengan Sinovac Biotech untuk melakukan uji klinis di negara tersebut, tetapi uji coba tersebut telah ditunda karena sengketa pendanaan. Kedua negara memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement