Senin 21 Dec 2020 05:11 WIB

Islam dan Warga Negara: Ironi Kekosongan Kepemimpinan Umat

Dilema antomi umat Islam Indonesia

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha, Wartawan Senior dan mantan Pimred Republika

-----

Pada 1996, Deliar Noer membuat buku otobiografi. Buku yang sangat tebal itu, 1.031 halaman, diterbitkan Mizan. Deliar adalah orang pertama Indonesia yang meraih gelar doktor dalam ilmu politik. Ia meraih gelar master pada 1960 dan gelar doktor pada 1963. Keduanya diraih di Cornell University, Amerika Serikat. Universitas ini terkenal sebagai pusat studi Indonesia terbaik.

Di sana ada George McTurnan Kahin, guru para indonesianis. Muridnya yang terkenal adalah Herbert Feith, yang menjadi bapak indonesianis di Australia. Buku otobiografi Deliar tersebut berjudul Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa. Judul ini memperlihatkan dua peran seorang Deliar, yang bisa menjadi gambaran secara umum tentang peran umat Islam Indonesia.

Pada dekade 1985, sejarawan Kuntowijoyo membuat lini masa tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam Indonesia. Dimulai dari kawulo (sejak pra Islam hingga 1900), lalu wong cilik (1900-1920), kemudian umat (1922-1942), dan akhirnya warga negara (1942-hingga kini.

Di masa lalu, rakyat hanyalah kawulo, abdi. Mereka kaum pariah dihadapkan dengan para bangsawan. Namun seiring perkembangan waktu, mereka kemudian menjadi wong cilik, rakyat kecil, dengan indikator utama kiprah Sarekat Islam, yang berperan sebagai organ perlawanan terhadap kolonial.

Namun penetrasi SI Merah/komunisme dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad, kata Kunto, telah membangun kesadaran bahwa mereka adalah umat Islam.

Masuknya pendudukan Jepang, yang mengakui eksistensi umat Islam, dengan menyertakan umat Islam ke dalam pemerintahan dan pembentukan laskar-laskar, yang hal ini berbeda dengan perlakuan kolonial Belanda terhadap umat Islam, telah menciptakan kesadaran baru bahwa mereka adalah warga negara.

Dalam konstitusi pemerintah kolonial Belanda, Indische Staatsregeling, umat Islam adalah inlander yang berada di kelas terendah dengan diskriminasi hak-hak sosial-ekonomi.

Kedudukan umat Islam sebagai warga negara, yang dimulai sejak pemerintahan pendudukan Jepang tentu makin jelas setelah Indonesia merdeka. 

Apakah dengan demikian label umat menjadi lenyap? Pertanyaan ini sebetulnya mudah dijawab. Namun kita tunda dulu untuk menjawabnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement