REPUBLIKA.CO.ID, Kaum kafir Quraisy sangat terpukul dengan keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mengajak sejumlah sahabat berhijrah ke Madinah. Di Madinah pun kelak, Nabi berhasil membangun satu komunitas Muslm yang hidup tenang sambil berdakwah di sebuah negara yang multikultural.
Pakar Ilmu Tafsir asal Indonesia, Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, terpukulnya kaum kafir Quraisy dalam melihat kesuksesan dakwah Nabi ini membuat mereka merencanakan sesuatu. Rencana itu ingin direalisasikan sebelum membesarnya ‘agama baru’ tersebut secara luas.
Kaum kafir Quraisy kemudian menggelar pertemuan dan melakukan rapat di Darun Nadwah dengan agenda tunggal: menumpas Nabi Muhammad SAW. Dalam rapat tersebut, ada yang mengusulkan agar beliau diusir dari Makkah, ada juga yang mengusulkan agar beliau dibelenggu dan ditahan, ada juga yang mengusulkan agar beliau langsung saja dibunuh. Sebab mereka benar-benar takut agama Islam menyebar luas.
Akhirnya mereka pun mendapatkan kesepakatan untuk membunuh Nabi. Hanya saja guna menghindari pembalasan keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Muthalib, mereka memutuskan untuk memilih dari setiap kelompok kaum musyrik pemuda-pemuda tangguh untuk bersama-sama membunuh Nabi.
Tanggung jawab pembunuhan pun tidak hanya dipikul oleh satu atau dua suku. Dengan demikian, keluarga besar Nabi Muhammad SAW tidak akan mampu melawan balik untuk berbalas dendam. Adanya rencana kaum kafir Quraisy ini, Allah SWT menyampaikan informasi ini kepada Nabi Muhammad SAW. Maka, Nabi pun memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di pembaringan beliau sambil memakai selimut Rasulullah yang berwarna hijau buatan Hadramaut yang biasa beliau pakai.
Maka, pemuda-pemuda terpilih itu memata-matai tempat pembaringan Nabi. Mereka pun merasa yakin bahwa beliau masih sedang tidur nyenyak tanpa mereka sadari itu bukanlah Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Nabi keluar dari rumah, meletakkan tanah di kepala masing-masing pelaku makar sambil membaca firman Allah.
Yakni Surah Yasin ayat 9 berbunyi: “Wa ja’alna min baini aydihim saddan wa min khalfihim saddan fa aghsyainahum fa hum laa yubshirun,”. Yang artinya: “Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”
Keesokan harinya mereka sungguh terperanjat karena baru mengetahui pria yang mereka duga Nabi Muhammad nyatanya adalah Ali bin Abi Thalib. Yang mana Sayyidina Ali ketika ditanyai mereka bersikeras menjawab: “Saya tidak tahu!”.
Peristiwa ini pun diabadikan Allah dalam Alquran Surah Al-Anfal ayat 30 berbunyi: “Wa idz yamkurubika alladzina kafaruu liyutsbituka aw yaqtuluka aw yukhrijuka wa yamkuruna wa yamkurullaha wallahu khairul-maakirin,”. Yang artinya: “Renungkanlah ketika orang-orang kafir Makkah memikirkan daya upaya terhadapmu untuk memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memperkirakan untuk melakukan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
Demikianlah Allah melakukan kuasa-Nya dalam rencana terselubuh demi kebaikan untuk membatalkan rencana busuk kaum kafir Quraisy Makkah. Dalam berbagai sirah Nabawi kerap disebutkan alasan mengapa para pemuda utusan kaum kafir Quraisy tak langsung saja menyergap rumah Nabi?
Alasannya adalah karena mereka bagaikan mendengar suara perempuan. Mereka pun engurungkan usahanya karena khawatir dikecam mengapa memasuki rumah orang lain pada malam hari di mana di dalamnya ada perempuan. Dengan berbagai skenario yang Allah lakukan, Nabi Muhammad SAW pun diselamatkan dari rencana pembunuhan.