REPUBLIKA.CO.ID, PROBOLINGGO, JAWA TIMUR–-Di pelosok Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, terdapat Desa Kalianan, Desa tersebut sering kali mengalami padam listrik yang diikuti dengan hilangnya sinyal telepon genggam. Bagi anak-anak hal seperti ini bukanlah masalah. Dengan demikian, mereka bisa menjadi lebih fokus dalam kegiatan pembelajarannya (Senin, 21/12).
Salah satunya Waril sosok anak berusia sepuluh tahun yang merupakan anak ketiga dari sepasang suami istri Musa (68) dan Khusnul (43). Mereka semua tinggal di salah satu wilayah pelosok Probolinggo. Tepatnya di Desa Kalianan. Sebuah wilayah dataran tinggi yang berdekatan dengan Gunung Argapura. Lengkap dengan suasana asri nan pegunungan yang dikelilingi pepohonan Sengon dan Balsa serta udara yang dingin. Mencapai wilayah Kalianan sendiri membutuhkan waktu kurang lebih 60 menit dari pintu masuk Desa Krucil.
Waril sendiri menghabiskan sehari-harinya sebagaimana anak pada umumnya: sekolah, bermain, mengaji dan membantu pekerjaan orang tuanya bertani. Warga Kalianan, sendiri sering mencari pendapatan dengan bertani Kopi Arabika, tanaman Porang, pohon Balsa, dan lain-lain. Meski demikian, bertani di wilayah ini juga sering terkendala akibat kehadiran hewan liar seperti babi hutan, kera, dan tikus. Walaupun lahan-lahan mereka sudah dipasang pembatas (pagar) namun hewan liar tetap menerobos masuk dan merugikan penghasilan warga setempat. “Kedua kakak, berada di luar kota. Kakak pertama berada di Madura. Sedangkan yang kedua berada di Jogja sedang kuliah,” ujar Waril.
Kakak pertama setelah menempuh pendidikan kuliah di Surabaya kemudian menikah dan tinggal di Madura. Sedangkan yang kedua sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab di salah satu universitas Yogyakarta. Musa dan Khusnul tentu bangga dengan prestasi yang dicapai oleh kedua anak pertamanya. Sehingga mereka pun berdoa yang terbaik bagi kedua anak terakhir mereka.“Alhamdulillah dengan keterbatasan yang ada. Anak-anak tetap semangat belajar. Anak yang pertama sangat pintar bahasa Inggrisnya. Sedangkan yang kedua bahasa Arabnya yang bagus,” imbuh Musa.
Musa juga melanjutkan, ada kebanggaan sendiri ketika anak-anak mereka berprestasi. Dengan berprestasi, seringkali mereka mengajak Musa dan Khusnul untuk mengunjungi wilayah lain, seperti Bogor dan Bandung. “Waktu itu Bapak dan Ibu senang sekali ketika mendatangi kakak-kakak. Aku jadi mau seperti kakak-kakak aku untuk buat Bapak-Ibu senang,”ujar Waril.
Meski begitu, keterbatasan tetap menjadi salah satu kendala yang dialami warga Kalianan. Fasilitas sekolah yang minim misalnya mengharuskan waktu belajar untuk bergilir. Hari Senin dan Selasa biasanya digunakan untuk kelas I dan II. Sedangkan kelas III dan IV di hari Rabu dan Kamis. Namun dengan kondisi pandemi seperti ini, sering kali tempat belajar menjadi di rumah dengan dampingan orang tua, wali ataupun pengajar setempat bahkan guru ngaji. “Aku mau jadi penghafal Al-Qur’an. Biar bisa banggain Bapak dan Ibu seperti Kakak-kakak saya,” kata Waril.
Baik sedang pandemi atau tidak, kegiatan belajar memang fokus di rumah. Pasalnya seperti yang sudah dijelaskan di atas, ketika desa mengalami padam listrik, maka sinyal pun ikut padam. Sehingga kegiatan belajar jarak jauh via daring menjadi sulit. “Tapi bagaimanapun juga, harapan orang tua pasti ingin anak-anaknya jauh lebih pintar dan berprestasi ketimbang orang tuanya. Agar mereka mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang tuanya,” kata Khusnul.
“Untuk bisa mencapai itu, kami berdoa untuk Waril bisa jadi penghafal Alquran. Insya Allah ketika hafal, yang lain-lainnya pasti mengikuti,” tutur Musa.