Mahmud Abbas yang saat ini berusia 85 tahun diyakini akan lengser menyusul janjinya menggelar pemilihan umum di Tepi Barat Yordan, pada 2021 mendatang. Pemilu Kepresidenan ini adalah pemilihan pertama di Palestina sejak dia naik tahta 2005 silam.
Pengumuman Abbas tersebut sekaligus mengawali perebutan kekuasaan di antara faksi Palestina. Kantor berita AFP mengabarkan, rival politik Abbas di Jalur Gaza yang selama ini terpinggirkan, mulai giat membangun basis dukungan.
Menurut analisa Middle East Institute, saat ini ada tiga figur sentral Palestina sedang bergulat untuk menjadi pewaris kekuasaan Abbas. Mereka adalah kedua tokoh kuat Hamas, Yahya Sinwar dan Ismail Haniyeh, serta pelarian politik Fatah, Mohammed Dahlan, yang juga bekas kepala keamanan di Gaza.
Dahlan pernah menggalang perang saudara melawan Hamas pada tahun 2007. Dalam pertempuran singkat itu pasukan Fatah yang dia pimpin kalah telak, dan dibuat kocar-kacir. Alhasil Hamas merebut Gaza dan Dahlan beberapa tahun kemudian dilengserkan Abbas.
Dia lalu melarikan diri ke Abu Dhabi dan menjadi penasehat politik bagi Pangeran Mohammed bin Zayed. Bertahun setelahnya, nama Dahlan kembali mencuat usai dituduh ikut membidani normalisasi hubungan diplomasi antara Uni Emirat Arab dan Israel.
Tapi ketika pengaruh Sinwar dan Haniyeh dianggap terbatas di Jalur Gaza, di Tepi Barat, Dahlan menjelma menjadi momok politik bagi Fatah dan Otoritas Palestina.
Kisruh di Tepi Barat
Di kamp Balata, sebuah pemukiman padat pengungsi di luar kota Nablus, tembok-tembok rumah dipenuhi poster bergambar wajah Hatem Abu Rizq, yang dituliskan sebagai “martir” dalam perang saudara di Palestina.
Pria berusia 35 tahun itu tewas 31 Oktober lalu, ketika polisi Palestina bentrok dengan penghuni kamp. Pemerintah menuduh Abu Rizq meninggal oleh bom yang dibuatnya sendiri. Tapi pihak keluarga membantah laporan tersebut.
“Yang benar dia ditembak oleh otoritas Palestina,” kata sang ibu, Um Hatem, di sebuah apartemen mungil bertembok polos tanpa cat di Balata. “Dia sedang memerangi praktik korupsi di tubuh pemerintah. Sebabnya mereka tidak menyukainya,” kata dia sebelum mencium poster raksasa bergambar puteranya.
Di luar, aparat Palestina berseragam lengkap terlihat berjaga-jaga di sekirar kendaraan lapis baja yang diparkir di gerbang masuk utama. Sementara penembak jitu disebar di atap-atap gedung untuk memantau situasi.
Jendral Wael Shitawi, seorang pejabat senior Palestina, meyakini Abu Rizq bekerja untuk Dahlan, dalam menggalang kerusuhan berdarah di Balata. “Dahlan memberikan uang kepada penganguran muda untuk melemparkan bom molotov kepada aparat keamanan,” kata dia kepada AFP.
“Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Otoritas Palestina tidak mampu mengontrol kamp.”
Hal senada diungkapkan Gubernur Nablus, Ibrahim Ramadan. “Hatem bersama Dahlan,” kata dia. “Orang-orang ini hanya mengerti bahasa kekerasan dan kita harus membuat mereka paham bahwa kita kiat,” imbuhnya.
Namun bagi simpatisan Dahlan dan anggota Fatah, Dimitri Diliani, Otoritas Palestina gagal memahami fenomena Dahlan sebagai representasi kemarahan pengungsi yang merasa dipinggirkan.
“Dahlanfobia sedang menghinggapi Otoritas Palestina,” katanya. “Wabah ini lebih parah ketimbang pandemi Covid-19.”
Diliani meyakini dukungan luas bagi Dahlan adalah “reaksi terhadap penganiayaan politik yang dilakukan Otoritas Palestina.”
Di lingkaran kekuasaan Palestina di Tepi Barat, isu suksesi jelang pemilu kepresidenan tahun depan masih dianggap tabu. Sejauh ini belum jelas siapa yang bakal menggantikan Abbas di pucuk pimpinan Fatah. Hal ini diakui oleh seorang petinggi partai yang enggan disebut namanya.
“Di tempat ini, kami tidak suka membicarakan kehidupan setelah mati.”
rzn/as (afp, rtr)