Selasa 22 Dec 2020 11:13 WIB

AS Selidiki Zat Penyebab Alergi Vaksin Covid-19 dari Pfizer

Vaksin Covid-19 dari Pfizer menyebabkan alergi pada sejumlah orang saat uji coba

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Botol vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 siap disuntikkan ke staf medis di Rumah Sakit Ichilov di Tel Aviv, Israel, Minggu, 20 Desember 2020.
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Botol vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 siap disuntikkan ke staf medis di Rumah Sakit Ichilov di Tel Aviv, Israel, Minggu, 20 Desember 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Sebuah studi baru mengenai reaksi alergi terhadap vaksin untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) tengah dilakukan di Amerika Serikat (AS). Saat ini, ratusan ribu orang di negara itu tengah bersiap menerima vaksin.

Institut Kesehatan Nasional AS meluncurkan studi baru untuk memungkinkan pemeriksaan mendalam terhadap reaksi alergi yang langka tetapi parah dari vaksin Covid-19. Sejauh ini reaksi itu hanya dialami oleh segelintir orang terhadap produk vaksin dari perusahaan farmasi Pfizer yang bekerja sama dengan BioNTech.

Baca Juga

Studi itu diharapkan secara khusus menentukan komponen vaksin yang menyebabkan anafilaksis. Itu adalah kondisi di mana reaksi alergi yang berpotensi mengancam nyawa, yang memicu reaksi multi-sistem yang membuat orang kesulitan bernapas, menjadi mual, mengalami pusing, dan timbul ruam.

Pejabat kesehatan AS bermaksud untuk merekrut beberapa ratus relawan dengan riwayat reaksi alergi parah yang akan mendapatkan vaksin yang diberikan di bawah pengawasan ketat di beberapa lokasi klinis di seluruh AS. Para peneliti berspekulasi bahwa reaksi parah mungkin dipicu oleh polietilen glikol (PEG), senyawa obat dari vaksin yang juga terdapat dalam produk dari perusahaan farmasi Moderna, yang baru disetujui.

Daniel Rotrosen, yang menjabat sebagai direktur Divisi Alergi, Imunologi dan Transplantasi di National Institute of Allergy and Infectious Diseases, menjelaskan bahwa penelitian tersebut tidak akan hanya berfokus pada individu dengan alergi PEG. Hal itu karena akan menjadi sangat sulit untuk menemukan cukup banyak dari mereka.

“Ini bukan desain ruang belajar yang sederhana. Kami berharap dapat melihat individu yang sangat alergi. Mereka juga tidak akan mudah direkrut,” ujar Rotrosen, dilansir Sputnik, Selasa (22/12).

Rotrosen mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan desain studi yang dilakukan secara optimal. Karena itu, kami mencoba untuk bergerak secepat mungkin untuk alasan yang jelas. 

Meski belum diumumkan secara resmi, para pejabat berharap dapat memulai studi dalam beberapa minggu ke depan. Urgensi untuk memulai penelitian ini dipicu setelah seorang petugas kesehatan di Alaska menjalani beberapa fase anafilaksis 10 menit setelah menerima vaksin Pfizer, meskipun ia tidak memiliki riwayat alergi.

Angka terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyatakan setidaknya ada enam kasus anafilaksis terkait dengan vaksin Pfizer setelah lebih dari 272.000 dosis vaksin dua bagian tersebut diberikan.

Badan tersebut telah mengeluarkan peringatan tentang kemungkinan reaksi parah dan mencatat bahwa anafilaksis dapat muncul dengan sendirinya dalam waktu satu jam setelah diberi vaksin. Reaksi itu mudah diobati melalui suntikan epinefrin.

Perkembangan itu terjadi ketika beberapa pejabat AS, termasuk presiden terpilih Joe Biden, menyiarkan proses vaksinasi mereka dilakukan melalui tayangan di televisi. Itu adalah upaya untuk meyakinkan publik Amerika bahwa vaksin Pfizer aman untuk digunakan publik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement