Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.
REPUBLIKA.CO.ID, Polemik seputar sejumlah pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta masih terus berlanjut. Proses hukum gugatan terhadap 13 pulau reklamasi yang dihentikan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan belum selesai. Terakhir Anies memenangkan kasasi terkait pencabutan izin reklamasi Pulau H pada 4 Juni 2020 lalu. Kini Anies harus kalah dari putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agus terkait Pulau G.
Pulau G merupakan salah satu dari empat pulau yang izinnya tidak dicabut karena sudah terlanjur dibangun. Selain Pulau G, juga ada Pulau C, D dan N. Khusus untuk tiga pulau reklamasi yang berada di barat Teluk Jakarta yaitu C, D dan G, namanya diubah Anies melalui Keputusan Gubernur Nomor 1744 Tahun 2018 tentang Penamaan Kawasan Pantai Kita, Kawasan Pantai Maju, dan Kawasan Pantai Bersama Kota Administrasi Jakarta Utara. Pulau C menjadi Pantai Kita, Pulau D menjadi Pantai Maju serta Pulau G menjadi Pantai Bersama.
Mahkamah Agung mengunggah putusan yang menolak peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 4/P/FP/2020/PTUN. "Amar Putusan TOLAK PK," tulis putusan MA yang diunggah di situs resmi Mahkamahagung.go.id, pada 10 Desember 2020. Adapun putusan tersebut diketok pada 26 November 2020, sebagai Panitera Pengganti Retno Nawangsih, dan Hakim 1 Yodi Martono Wahyunadi, Hakim 2 Hary Djatmiko dan Hakim 3 Supandi.
Sengketa perizinan reklamasi pulau G berawal dari PT Muara Wisesa Samudera yang menggugat Anies karena tak kunjung menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G. Perkara tersebut terdaftar pada 16 Maret 2020 dengan nomor perkara 4/P/FP/2020/PTUN.
Perkara tersebut mengabulkan keinginan PT Muara Wisesa Samudera dan mewajibkan Anies untuk segera menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G. "Mewajibkan termohon (Gubernur DKI Jakarta) untuk segera menerbitkan perpanjangan atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2239 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera," bunyi petitum gugatan PT Muara Wisesa Samudera.
Pada 15 Oktober 2020, tercatat Pemprov DKI Jakarta mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan perkara di PTUN tersebut. PK tersebut teregistrasi dengan nomor 157 PK/FP/TUN/2020 dan didistribusikan pada 2 November 2020. Namun PK yang diajukan Pemprov DKI Jakarta dinyatakan ditolak dan Anies tetap diwajibkan untuk segera mengeluarkan izin reklamasi Pulau G.
Anies belum berkomentar terkait putusan tersebut. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria alias Ariza mengatakan, pihaknya akan mematuhi dan mengikuti keputusan tersebut. Meski demikian, Ariza menuturkan, jika masih memungkinkan, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan upaya hukum, yakni dengan mengajukan banding.
Putusan ini pun juga membuat dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengawal kasus ini yaitu Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kecewa. Anggota Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simamora mengatakan, putusan itu akan memberikan sejumlah dampak besar terhadap lingkungan dan nelayan.
Nelson menilai, para nelayan akan kehilangan mata pencaharian lantaran wilayah mereka untuk menangkap ikan berubah menjadi pulau. Sehingga mereka harus melaut lebih jauh dan lebih banyak menghabiskan bahan bakar serta berisiko terhadap kondisi cuaca maupun ombak.
Selain itu, sambung dia, potensi banjir di hulu sungai Jakarta pun akan semakin besar. Misalnya keberadaan Pulau G akan membahayakan objek vital nasional, seperti PLTU Muara Karang dan kabel bawah laut.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Menurut Tubagus, seharusnya lembaga peradilan melihat permasalahan tersebut bukan hanya sebagai persoalan administrasi. Tetapi lebih kepada kepentingan lingkungan hidup, sesuai dengan harapan warga Jakarta untuk pulihnya Teluk Jakarta.
Walhi juga mengkritisi Pemprov DKI Jakarta yang dinilai tidak serius untuk menghentikan reklamasi. Jika serius untuk menghentikan reklamasi, Tubagus meminta peta reklamasi kebijakan tata ruang itu harus dihapus.
Meskipun MA sudah memutuskan menolak PK dari Pemprov DKI Jakarta, masih ada upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan audit lingkungan terlebih dahulu terhadap keberadaan reklamasi dan Teluk Jakarta secara keseluruhan. Kemudian pemerintah bersama masyarakat, terutama nelayan merumuskan langkah selanjutnya terkait penggunaan pulau tersebut.
Sedangkan, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menengahi dengan meminta Pemprov DKI Jakarta untuk segera menyusun rencana induk penataan ruang pulau G. Dia mendorong agar sebaiknya Pulau G dijadikan RTH berupa hutan kota, lapangan olahraga atau untuk fasilitas publik. Dia juga minta Anies untuk mempercepat penyusunan raperda terkait pulau-pulau reklamasi tersebut.
Berdasarkan pantauan Republika pada Kamis (17/12) lalu, proses reklamasi Pulau G masih terus berlangsung. Di antara tiga pulau reklamasi di barat Teluk Jakarta, Pulau D atau Pantai Maju yang pembangunannya sudah bisa dioperasikan.
Usai kita menyeberangi jembatan penghubung dengan Pantai Maju, kita akan menemukan sebuah bunderan besar dengan terdapat food court bernuansa pecinan di depannya. Namanya Pantjoran PIK yang terinspirasi dari nama tempat kuliner di Glodok, Jakarta Barat. Pantjoran PIK diresmikan pada 20 November 2020 lalu.
Lokasi ini sesungguhnya tidak besar. Namun karena desain rumah-rumah bernuansa pecinan dibangun menjulang dua tingkat, sehingga ruko-ruko yang mengelilingi Pantjoran PIK tak terlihat. Sehingga saat berada di dalam Pantjoran PIK, terasa benar-benar berasa di perkampungan pecinan. Tak ayal, foto dan video yang merekam sudut-sudut Pantjoran PIK menjadi viral di media sosial.
Untuk kulinernya, pengunjung muslim harus jeli melihat daftar menu di tiap resto jika ingin makan di sana. Karena kebanyakan resto di sana menyajikan makanan yang tak halal. Beberapa resto yang menyajikan makanan halal, akan menuliskan tulisan ‘no pork, no lard’ di depannya.
Bergerak ke arah pantai timur, kita akan menemukan gerbang besar yang menjadi pintu masuk Jalasena Utara di bagian timur. Jalasena merupakan singkatan dari Jalan Sehat dan Sepeda Santai. Jalur Jalasena memang dibuat mengelilingi pulau ini. Jalasena terbagi dua menjadi utara dan selatan.
Namun jalur ini belum sempurna pembangunannya. Masih ada beberapa titik yang ditutup karena masih dalam pembangunan. Dari titik ini, juga bisa dilihat pembangunan blok-blok perumahan yang sudah hampir selesai pembangunannya.
Kemudian Republika menuju arah barat bunderan, di mana terdapat pintu masuk ke jembatan untuk menuju Pulau C atau Pantai Kita. Sayangnya, kendaraan yang boleh memasuki jembatan tersebut dengan akses terbatas. Republika meminta izin dengan tujuan untuk liputan dengan menunjukkan kartu identitas pers, namun pihak sekuriti tetap tidak mengizinkan dengan dalih sedang proses pembangunan.
Padahal Republika ingin melihat progress pembangunan di Pantai Kita sekaligus melihat jembatan yang menghubungkan Pantai Kita dengan wilayah Banten yang sudah selesai dibangun.
Gagal masuk ke jembatan penghubung ke Pantai Kita, Republika memutuskan ke pintu masuk Jalasena bagian barat yang berada tidak jauh dari jembatan tersebut. Di lokasi ini, pengunjung bisa menyewa berbagai jenis sepeda untuk menjelajahi jalur Jalasena. Harga sewa pun beragam, dari Rp 25 ribu untuk sepeda single hingga Rp 75 ribu untuk sepeda listrik atau sepeda berpasangan.
Dengan pembangunan Pantai Maju yang sudah hampir selesai ini, Republika belum menemukan fasilitas publik lainnya seperti pantai publik, kawasan hutan kota maupun fasilitas olahraga. Karena di pulau ini, sebagian besar pembangunannya untuk blok-blok perumahan, serta ruko-ruko yang berada di sisi jalan. Jalan di bagian utara bunderan utama pun masih ditutup karena proses pembangunan blok-blok perumahan yang belum selesai.
Anies pernah berjanji untuk menata wilayah pesisir dan reklamasi Teluk Jakarta ini agar semua warga dari berbagai golongan bisa merasakan dan menikmatinya. Anies juga pernah menegaskan pentingnya aksesbilitas kawasan pesisir secara khusus dan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) wilayah utara Jakarta.
Semoga Anies tidak ‘kalah’ dengan para pengembang di pulau-pulau reklamasi tersebut dan menuntaskan janjinya sebelum masa kerjanya berakhir pada 2022 mendatang.