REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Puluhan jurnalis Aljazirah Media Network menjadi sasaran serangan siber menggunakan virus tipe spyware yang dijual perusahaan Israel. Pemantau keamanan siber mengatakan serangan ini tampaknya berhubungan dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Pada Ahad (20/12) lalu para peneliti Citizen Lab dari University of Toronto mempublikasikan laporan yang menjabarkan dengan detail bagaimana spyware Pegasus menyusup ke 36 telepon genggam 36 jurnalis, produser, pembawa acara, dan eksekutif Aljazirah. Pemantau keamanan siber itu mengaitkan serangan ini dengan Arab Saudi dan UEA.
Jurnalis investigasi Aljazirah Tamer Almisshal mengonfirmasi serangan tersebut. Ia mengatakan penyelidikan mengenai serangan ini dilakukan setelah ia menerima ancaman pembunuhan di telepon genggam yang biasa digunakan menelepon kementerian UEA.
"Mereka mengancam saya untuk menjadi Jamal Khashoggi yang baru," kata Almisshal pada Aljazirah, Selasa (22/12).
"Berdasarkan hal ini, kami menyerahkan telepon genggam ke Citizen Lab yang menemukan telepon itu diretas dengan spyware yang disebut Pegasus, yang dikembangkan perusahaan Israel, NSO," tambahnya.
Ia melacak spyware tersebut selama enam bulan dan menemukan setidaknya 36 staf Aljazirah mengalami peretasan. Almisshal mengatakan pelaku serangan siber menggunakan konten yang dicuri dari telepon-telepon genggam untuk memeras jurnalis dengan mengancam akan mempublikasi foto pribadi ke internet.
Pada Juni 2017 lalu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir memboikot perdagangan, diplomasi, dan perjalanan ke Qatar. Negara-negara itu menuduh Doha mendukung 'terorisme' dan hubungan mereka dengan Iran terlalu dekat.
Negara-negara tersebut mengajukan 13 tuntutan ke Qatar salah satunya memutus hubungan dengan Iran, menutup pangkalan militer Turki di Qatar, dan menutup Aljazirah. Qatar dengan tegas menolak tuduhan tersebut dan atas dasar kedaulatan mereka menolak memenuhi tuntutan tersebut.
Perusahaan Israel NSO menggunakan tautan melalui SMS untuk menyusupkan spyware ke telepon genggam tanpa pemilik telepon tersebut melakukan apa-apa. Teknik ini disebut serangan zero-click menjadi bukti serangan siber.
"Pergeseran industri dan konsumen terhadap serangan zero-click telah meningkatkan penyalahgunaan yang tak terdeteksi," kata Citizen Lab dalam laporan mereka.
Dalam situsnya, NSO mengatakan tujuan pembuatan teknologi itu membantu pemerintah 'mencegah dan menyelidiki terorisme dan kejahatan untuk menyelamatkan ribuan nyawa di seluruh dunia'. Namun perusahaan Israel itu kerap dikaitkan dengan langkah pemerintah dalam memata-matai jurnalis, pengacara, aktivis hak asasi manusia, dan oposisi.
NSO menjadi sorotan setelah penyelidikan Citizen Lab pada akhir 2018 lalu mengungkapkan oposisi pemerintah Arab Saudi, Omar Abdulaziz, menjadi target serangan siber. Telepon genggamnya disusupi spyware. Abdulaziz adalah teman dekat jurnalis Jamal Khashoggi yang dibunuh di konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.