Selasa 22 Dec 2020 20:36 WIB

Bisnis Makanan Asia Jadi Target Rasisme di AS Selama Pandemi

Awal virus corona dari China membuat bisnis makanan Asia di AS jadi sasaran rasisme

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Salah satu makanan khas China
Foto: abc
Salah satu makanan khas China

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Rasisme menjadi salah satu isu hangat di Amerika Serikat (AS), di mana hal ini dianggap rentan terjadi sejak lama. Tak terkecuali saat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) melanda dunia, di mana negara itu memiliki jumlah kasus wabah terbanyak secara global. 

Rasisme yang dilaporkan terjadi di AS selama pandemi Covid-19, yang dimulai pada awal tahun ini menargetkan bisnis makanan Asia. Hal itu nampaknya dipicu oleh bukti awal bahwa virus corona jenis baru berasal dari kelelawar yang menginfeksi hewan liar lain yang dijual di sebuah pasar di Wuhan, China.

Baca Juga

Informasi tersebut, di mana kasus Covid-19 juga pertama kali dikonfirmasi di Wuhan, membuat banyak meme bernada rasis bertebaran di media sosial. Hal itu kemudian dengan cepat mempengaruhi banyak orang di AS, bahkan Presiden Donald Trump telah berulang kali menyebut bahwa virus corona jenis baru sebagai ‘virus China’.

"Retorika kuno bahwa kami memakan kelelawar, anjing, dan tikus  adalah bukti bahwa rasisme masih hidup dan sehat," kata Clarence Kwan, pendiri majalah memasak anti-rasis Chinese Protest Recipes, dilansir TVNZ, Senin (21/12). 

Pasar di Wuhan, tempat virus diyakini mungkin berasal, banyak vendor mengiklankan satwa liar untuk dijual. Dari 33 sampel dari pasar yang dinyatakan positif Covid-19, para pejabat mengatakan 31 berasal dari daerah tempat kios satwa liar terkonsentrasi. 

Tetapi satwa liar dan hewan eksotis lainnya bukanlah bagian dari makanan Asia arus utama modern, baik di negara-negara Asia atau di AS. Semua informasi yang salah memiliki konsekuensi yang serius.

Stop AAPI Hate, sebuah koalisi kelompok advokasi Asia-Amerika, mengeluarkan laporan pada Agustus yang menyatakan bahwa mereka telah menerima lebih dari 2.500 laporan kebencian dan diskriminasi di seluruh wilayah AS. Kelompok itu mengatakan menerima data dari 47 negara bagian, dengan 46 persen insiden terjadi di Kalifornia, diikuti oleh 14 persen di New York.

Selain itu, usaha kecil Asia-Amerika termasuk yang paling terpukul oleh penurunan ekonomi selama pandemi. Menurut sebuah studi oleh National Bureau of Economic Research, sementara ada penurunan 22 persen dalam semua aktivitas pemilik bisnis kecil secara nasional dari Februari hingga April, aktivitas pemilik bisnis Asia-Amerika turun 26 persen.

“Banyak bisnis yang selamat menjadi sasaran stigmatisasi, restoran telah dirusak. Seolah-olah pandemi tidak cukup parah, ada ancaman tambahan bagi bisnis Asia dari kebencian yang masih ada,” kata Kwan.

Ellen Wu, seorang profesor sejarah di Indiana University mengatakan retorika rasis, yang menyebut makanan Asia kotor atau sarat penyakit sudah ada sejak 1850-an, Ia menegaskan bahwa anggapan keliru bahwa orang-orang China makan tikus atau daging anjing berakar pada ketakutan xenofobia pekerja kulit putih yang menggunakan pekerja imigran asal Negeri Tirai Bambu sebagai kambing hitam untuk masalah kesengsaraan ekonomi mereka.

“Bagi orang kulit putih Amerika, imigran baru ini berbeda dengan cara yang mengancam, dan ada ketakutan akan perbedaan yang lain,” kata Wu, yang merupakan keturunan Asia-Amerika.

Profesor bahasa Inggris Anita Mannur dari Universitas Miami mengatakan rasisme yang terjadi mengingatkannya pada kartun rasis dari akhir 1800-an yang mengiklankan racun tikus dengan membayangkan seorang pria China hendak memakan salah satu hewan pengerat itu. Perempuan keturunan India-Amerika ini, mengatakan narasi palsu lain yang terus-menerus seperti bahwa lingkungan  Chinatown di Amerika adalah sarang  orang Asia kurang beradab dan melakukan kerusakan yang sangat cepat.

Benny Yun, pemilik restoran Yang Chow di distrik Chinatown Los Angeles dan dua lokasi lainnya di Kalifornia Selatan, mengatakan meskipun bisnisnya telah selamat dari pandemi, ia sering mendapat telepon iseng hampir setiap hari. Tak sedikit diantara telepon itu yang berbicara dengan menanyakan apakah ia memiliki anjing atau kucing di menu dan meniru aksen Asia yang kental.

“Bagian terburuknya adalah jika mereka menyadari Anda berbicara bahasa Inggris dengan sempurna, maka mereka hanya memberi Anda pesanan acak dan kami menyiapkannya, tapi mereka bahkan tidak datang untuk mengambilnya, yang membuang waktu dan uang,” kata Yun.

Kwan mengatakan penting bagi warga Amerika keturunan Asia untuk memprotes cara mereka diperlakukan. Ia menegaskan agar tidak ragu melawan serangan bias dan rasisme dengan terus menerapkan  budaya tanpa malu-malu.

“Kita tidak perlu berubah. Kita bisa hidup, bernapas, dan makan persis seperti yang kita lakukan tanpa harus beradaptasi dengan supremasi kulit putih, pandangan putih, dan putih. Kami bangga dengan warisan kuliner kami,” kata Kwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement