REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak perusahaan besar yang mempunyai keuntungan berkali-kali lipat saban tahunnya. Biasanya keuntungan yang diperoleh digunakan kembali untuk investasi pengembangan perusahaan, membayar upah, pajak, dan sejumlah perusahaan menyisihkan dana sosial.
Tapi dapatkah perusahaan dikenakan wajib zakat? Seperti apa akadnya?
Persoalan ini menjadi salah satu masalah yang dibahas dalam fiqih zakat kontemporer hasil putusan musyawarah nasional Majelis Tarjih Muhammadiyah ke-31 beberapa waktu lalu. Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Masudi menjelaskan, selama ini yang dikenal di masyarakat adalah zakat individu, seperti zakat mal atau zakat profesi.
Belum ada penjelasan tentang zakat perusahaan. Masudi mengatakan dari hasil musyawarah majelis tarjih diputuskan zakat perusahaan diperbolehkan dengan pertimbangan keuntungan perusahaan sangat signifikan untuk membantu fakir dan miskin.
"Banyak perusahaan yang tingkat keuntungannya sangat signifikan untuk kemudian keuntungannya itu bisa dibagikan (sebagai zakat) kepada kelompok miskin. Maka keputusan yang dihasilkan adalah menyetujui adanya zakat perusahaan atau badan usaha komersial," kata Masudi kepada Republika.co.id, Rabu (23/12).
Masudi menjelaskan, zakat perusahaan berbeda atau terpisah dengan individu sebagai pemilik perusahaan. Maka akad zakatnya pun bukan zakat penghasilan individu atau zakat profesi, melainkan akad zakat perusahaan.
"Prinsipnya bagaimana zakat perusahaan itu sebagai sebuah entitas perusahaan komersial. Dalam praktiknya Lazismu sudah melaksanakan itu, ada perusahaan tertentu menyerahkan zakat perusahaannya kepada Lazismu. Maka tentu akadnya atas nama perusahaan bukan individu atau pemilik perusahaan. Jad akadnya harus atas nama perusahaan," jelas Masudi.
Lalu, bagaimana dengan nisab zakat perusahaan? Masudi menjelaskan, untuk teknis penarikan zakat perusahaan secara detail masih dalam pembicaraan dan diskusi lebih dalam.
Kendati demikian, menurutnya, untuk nisab mengikut sebagaimana nisab zakat individu yakni 2,5 persen dari penghasilan. Namun, Marsudi belum bisa menjelaskan apakah itu sudah bersih dari perolehan keuntungan perusahaan atau belum. Menurutnya, hal itu masih dalam kajian.
"Tapi memang harus dipikirkan teknisnya dilapangan, karena perusahaan harus dikenai pajak, pengeluaran. Apakah keuntungan bersih atau kotor ini belum dibicarakan. Jadi dasarnya adalah bahwa ada entitas di luar individu yang bisa menghasilkan keuntungan banyak karena menjadi sebuah badan usaha komersial," katanya.