YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Presiden Joko Widodo mengumumkan reshuffle Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Selasa (22/12).
Dalam pengumuman itu Jokowi mengenalkan enam menteri barunya diantaranya Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial, Sandiaga Salahudin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan, Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama, Wahyu Sakti Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dan M Lutfi sebagai Menteri Perdagangan.
Perombakan kabinet menteri itu cukup mengejutkan masyarakat Indonesia, meski tak sedikit pula sudah banyak yang memprediksinya. Menurut Akademisi Muhammadiyah Tunjung Sulaksono, MSi mengatakan bahwa reshuffle menteri kabinet sebenarnya adalah hal yang biasa dalam dinamika sebuah pemerintahan.
“Memang ada banyak spekulasi yang beredar terkait penyebab reshuffle menteri, semuanya mempunyai argumentasi berbeda-beda. Namun apapun argumentasi itu, tujuan reshuffle menteri bermuara pada upaya peningkatan kinerja pemerintahan. Hal ini bisa dicermati misalnya dari beberapa kejadian kemarahan Presiden Joko Widodo kepada para menterinya, terutama terkait dengan sikap para menteri yang dianggap oleh presiden bahwa menterinya itu tidak memiliki sense of crisis, serapan anggaran yang rendah, kacaunya omnibus law, maupun melesetnya investasi,” ungkap Tunjung, Jum’at (25/12).
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi memang memiliki gaya yang berbeda dibanding dengan para pendahulunya dalam memilih para pembantunya yang mengakibatkan keputusan-keputusan yang dibuatnya sering dipertanyakan.
Hal ini terlihat dari beberapa figur yang dianggap ‘di luar dugaan’ yang pernah dipasang Jokowi sebelumnya untuk menduduki pos kementerian.
Seperti penunjukan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto, yang dianggap tidak pas mengingat latar belakang Budi Gunadi bukanlah dari kalangan dokter.
”Apa yang dilakukan Jokowi ini seolah-olah ingin menegaskan bahwa ini adalah hak prerogatif presiden. Oleh karena itu karena memang gayanya seperti ini, saya mengajak publik bersabar dan menilai secara objektif kinerja mereka, bukan semata-mata latar belakang mereka,” tegas Tunjung.
Sejatinya tak hanya penunjukkan Budi Gunadi saja yang membuat reshuffle menteri pertama Presiden Jokowi di periode keduanya menimbulkan polemik.
Ada kontroversi lain yakni masuknya Sandiaga Uno sebagai menteri, yang notabene dia merupakan lawan politik Jokowi di Pilpres 2019. Tunjung melihat bahwa hal ini yang justru patut dikhawatirkan.
“Masuknya beberapa representasi kubu yang dulu berlawanan dengan Jokowi dalam pilpres ke dalam kabinetnya saat ini, misalnya dengan masuknya Prabowo dan Sandi Uno ke dalam kabinet, menunjukkan bahwa telah terjadi rekonsiliasi secara politis yang membuat oposisi menjadi tidak efektif lagi dalam mengontrol pemerintahan. Ini sebenarnya patut dikhawatirkan karena suara-suara kritis yang sebenarnya diharapkan bisa muncul dari kekuatan oposisi di luar pemerintahan menjadi semakin kecil kemungkinannya untuk muncul, sehingga praktis kemauan pemerintah tidak akan mendapat kontrol yang cukup kuat karena hampir semua kekuatan politik masuk sebagai pendukung pemerintah,” tambahnya.
Sementara itu, Dr Suswanta, MSi yang juga merupakan dosen IP UMY menilai penunjukkan Sandiaga Uno mencerminkan bahwa Kabinet Baru Jokowi seperti pada jaman Orde Baru. “Yaitu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dalam praktiknya, untuk menjaga stabilitas politik maka semua yang kritis harus dibungkam atau dikooptasi. Pada saat yang sama, pemerintah juga melakukan konsolidasi kapital, karena semua telah sepakat menerapkan neoliberalisme. Atas dasar ini bisa dipahami jika Rocky Gerung menyebut kabinet baru Jokowi sebagai kabinet mencekam.”
Ada dua citra yang muncul atas keputusan Jokowi memasukkan Sandiaga Uno, yaitu secara positif dan negatif. Citra positif adalah pemerintah ingin mengakhiri perseteruan. Adapun citra negatifnya adalah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir perjuangan. Pelantikan enam menteri baru oleh Jokowi adalah upaya pengendalian atau dalam ilmu politik disebut regimentasi. Dalam politik mengalami regimentasi dan dalam ekonomi mengalami free market.
Namun demikian, rakyat Indonesia diharapkan tidak terlalu terburu-buru untuk menilai sebelum keenam menteri baru itu menunjukkan kapasitasnya. “Harapan positif yang ingin disandarkan adalah agar para menteri dan semua yang diberi amanah sebagai pejabat publik dapat menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk memajukan Indonesia dan menyejahterakan rakyatnya dalam arti sebenarnya, bukan menyejahterakan diri dan kelompoknya,” pungkas Suswanta. (Hbb)