REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lonjakan besar dalam belanja secara online selama pandemi telah menjadi penyelamat bagi pengecer. Namun, pengecer tidak menginginkan pengembalian barang mereka. Mereka ingin pembeli yang merasa tidak aman pergi ke toko merasa nyaman membeli barang yang belum mereka lihat atau coba secara langsung.
Dilansir AP News, Jumat (25/12), menurut Narvar Inc sebuah perusahaan perangkat lunak dan teknologi yang mengelola pengembalian online untuk ratusan merek mengatakan pembeli mengembalikan barang dua kali lebih banyak dari yang mereka lakukan selama periode liburan tahun lalu. Biayanya mencapai 11 miliar dolar AS.
Orang-orang telah melakukan begitu banyak pembelian online sejak Maret 2020. Sehingga operator seperti UPS dan FedEx sudah dalam kapasitas penuh sebelum musim belanja pada masa liburan.
Berdasarkan Adobe Analytics, penjualan online sejak 1 November 2020 melonjak 32 persen menjadi 171,6 miliar dolar AS dibandingkan periode sama tahun lalu. Pengiriman vaksin Covid-19 dalam beberapa waktu dekat akan meningkatkan tekanan pada sistem pengiriman.
"Itu artinya pembeli yang melakukan pengembalian dana tak akan mendapatkan dananya hingga dua pekan setelah barang dikembalikan," kata Sara Skirboll, pakar belanja di situs Retail Me Not.
Banyak perusahaan menawarkan lebih banyak lokasi pengembalian. Ini akan mengurangi biaya pengiriman dan pembeli mendapatkan dananya lebih cepat.
Happy Returns, perusahaan rintisan yang bekerja sama dengan sejumlah pengecer online, telah meningkatkan jumlah lokasi pengantaran dari 700 menjadi 2.600 unit. "Ini saat yang tepat untuk menjalankan bisnis ini, setiap hari selalu ada," kata David Sobie, CEO Happy Returns.
Wallmart, pengecer terbesar di negara itu mengumumkan awal pekan ini akan mengambil item yang diajukan pengembalian ke rumah pelanggan secara gratis. Ini dilakukan melalui kemitraan dengan FedEx.