Sabtu 26 Dec 2020 10:22 WIB

Kebiasaan Rangkul Rival Diharap tak Terjadi di Era Mendatang

Merangkul rival bagus untuk efektivitas pemerintahan, tetapi melemahkan pengawasan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ratna Puspita
Presiden Joko Widodo (keempat kiri) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (keempat kanan) berfoto dengan (kiri ke kanan) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan M Lutfi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno seusai upacara pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara Jakarta, Rabu (23/12/2020). Selain melantik enam menteri baru untuk menggantikan posisi menteri lama (reshuffle), presiden juga melantik lima wakil menteri.
Foto: Antara/Setpres-Agus Suparto
Presiden Joko Widodo (keempat kiri) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (keempat kanan) berfoto dengan (kiri ke kanan) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan M Lutfi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno seusai upacara pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara Jakarta, Rabu (23/12/2020). Selain melantik enam menteri baru untuk menggantikan posisi menteri lama (reshuffle), presiden juga melantik lima wakil menteri.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar politik UGM, Abdul Gaffar Karim, berharap, kebiasaan merangkul rival-rival masuk dalam pemerintahan cuma berlaku pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Ia berharap kondisi semacam ini tidak terjadi kembali pada era presiden berikutnya.

Sebab, ia mengatakan, demokrasi perlu penyeimbang.Sistem presidensial perlu penyeimbang tegas antara eksekutif dan legislatif. 

Baca Juga

Ia mengatakan jika kekuatan-kekuatan yang berseberangan seperti yang terlihat dalam relasi pilpres ditundukkan maka demokrasi kehilangan penyeimbang. Kondisi ini berpotensi memunculkan pemimpin yang aristokratik, dan tidak cukup bagus untuk kehidupan demokrasi di Indonesia. 

Dengan kondisi seperti ini, ia berharap, kontrol masyarakat melalui gerakan mahasiswa, dan kampus, tidak sampai ikut tunduk. Selain itu, harapan pengawasan yang tersisa tidak lain kepada civil-society.

"Harus ada suara-suara alternatif agar pemerintah tetap terawasi oleh masyarakat," kata Gaffar, Jumat (25/12).

Gaffar menyoroti kebiasaan Jokowi memasukkan rival atau orang-orang yang dulu mengkritisi ke dalam radar dan orbit pemerintahannya. Sehingga, orang atau kelompok politik yang dulu berseberangan diberikan ruang dalam pemerintahan.

Gaffar menilai, jika pihak-pihak yang berseberangan kini sudah masuk kabinet maka pengawasan cuma berharap DPR menjalankan fungsi check and balances ke pemerintahan. "Ini di satu sisi bagus untuk efektivitas pemerintahan, tapi tidak bagus dilihat perlunya kontrol, bagaimanapun pemerintahan perlu keseimbangan untuk dikontrol," ujar Gaffar.

Presiden Joko Widodo akhirnya merombak Kabinet Indonesia Maju. Ada enam kementerian mendapat pemimpin baru, di antaranya adalah Sandiaga Uno yang menjadi menteri pariwisata dan ekonomi kreatif. Kehadiran Sandiaga Uno melengkapi keberadaan Prabowo Subianto di kabinet. Keduanya merupakan pasangan calon yang melawan Jokowi-Ma'ruf pada Pemilu 2019. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement