REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar politik UGM, Abdul Gaffar Karim, berharap, kebiasaan merangkul rival-rival masuk dalam pemerintahan cuma berlaku pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Ia berharap kondisi semacam ini tidak terjadi kembali pada era presiden berikutnya.
Sebab, ia mengatakan, demokrasi perlu penyeimbang.Sistem presidensial perlu penyeimbang tegas antara eksekutif dan legislatif.
Ia mengatakan jika kekuatan-kekuatan yang berseberangan seperti yang terlihat dalam relasi pilpres ditundukkan maka demokrasi kehilangan penyeimbang. Kondisi ini berpotensi memunculkan pemimpin yang aristokratik, dan tidak cukup bagus untuk kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dengan kondisi seperti ini, ia berharap, kontrol masyarakat melalui gerakan mahasiswa, dan kampus, tidak sampai ikut tunduk. Selain itu, harapan pengawasan yang tersisa tidak lain kepada civil-society.
"Harus ada suara-suara alternatif agar pemerintah tetap terawasi oleh masyarakat," kata Gaffar, Jumat (25/12).
Gaffar menyoroti kebiasaan Jokowi memasukkan rival atau orang-orang yang dulu mengkritisi ke dalam radar dan orbit pemerintahannya. Sehingga, orang atau kelompok politik yang dulu berseberangan diberikan ruang dalam pemerintahan.
Gaffar menilai, jika pihak-pihak yang berseberangan kini sudah masuk kabinet maka pengawasan cuma berharap DPR menjalankan fungsi check and balances ke pemerintahan. "Ini di satu sisi bagus untuk efektivitas pemerintahan, tapi tidak bagus dilihat perlunya kontrol, bagaimanapun pemerintahan perlu keseimbangan untuk dikontrol," ujar Gaffar.
Presiden Joko Widodo akhirnya merombak Kabinet Indonesia Maju. Ada enam kementerian mendapat pemimpin baru, di antaranya adalah Sandiaga Uno yang menjadi menteri pariwisata dan ekonomi kreatif. Kehadiran Sandiaga Uno melengkapi keberadaan Prabowo Subianto di kabinet. Keduanya merupakan pasangan calon yang melawan Jokowi-Ma'ruf pada Pemilu 2019.