REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Inovasi teknologi di bidang pertanian sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Sebab, perubahan iklim dan emisi karbon telah dirasakan pada setiap aspek kehidupan manusia, di antaranya sektor pertanian.
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Haris Syahbudin mengatakan sektor pertanian mempunyai tiga posisi dalam perubahan iklim. Ketiganya, yakni sumber emisi melalui pemanfaatan pupuk, pengelolaan air, aktivitas peternakan; korban; dan pihak yang berperan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Peluang pertanian dalam penurunan emisi gas rumah kaca masih tidak terlalu besar dilihat oleh orang. Kita lebih fokus bagaimana menghindari pertanian dari korban perubahan iklim itu sendiri,” kata Haris dalam Siaran Pers Kementan, dikutip Republika.co.id, Jumat (25/12).
Menurut Haris, strategi antisipasi dan teknologi adaptasi serta penyebarluasan informasi dan implementasi merupakan aspek kunci untuk meningkatkan produktivitas ramah lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Teknologi tersebut misalnya pemetaan wilayah rawan, penggunaan varietas unggul tanah kekeringan, rendaman, dan salinitas, penyesuaian waktu dan pola tanam, teknologi panen hujan, teknologi irigasi, pengembangan sistem informasi dan smart farming, dan lain-lain.
Beberapa varietas padi adaptif perubahan iklim telah dihasilkan oleh Balitbangtan di antaranya padi toleran rendaman (Inpara 3, Inpara 4, Inpara 29 Rendaman, dan Inpara 30-Ciherang Sub1), padi toleran kekeringan (Inpago 8, Inpago 9, Inpago 10, Inpago 38 Agritan, dan Inpago 39 Agritan), serta padi sawah umur genjah tanah OPT (Inpari 12, Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, dan Inpari 20).
Selain padi, Balitbangtan menghasilkan varietas jagung, kedelai, kentang, sayuran dan buah adaptif perubahan iklim. Balitbangtan juga mengembangkan sistem integrasi ternak tanaman pangan yang ramah lingkungan, teknologi smart farming 4.0, teknologi panen air, teknologi irigasi, pompa radiasi surya, dan lain-lain.
Haris menekankan, pada situasi saat ini, peran penyuluh dalam mendiseminasikan dan meningkatkan adopsi dari teknologi-teknologi ramah lingkungan tersebut snagat penting. Sementara, para peneliti berperan mengawal diseminasi tersebut untuk mengenalkan teknologi terbaru yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Dedi Nursyamsi mengatakan strategi sektor pertanian dalam menjaga isu lingkungan melalui pendekatan rendah emisi karbon adalah bagaimana cara meningkatkan sekuestrasi (penangkapan dan penyimpanan) karbon sebesar-sebesarnya. "Di saat yang sama kita harus meminimalisir atau menekan serendah-rendahnya emisi karbon," katanya.
Menurut Dedi, kata kunci untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor pertanian adalah peningkatan efisiensi sarana input seperti pupuk, irigasi, serta seluruh penunjang budidaya pertanian. Pemupukan misalnya, ada kalanya menghasilkan emisi nitrous oxide. “Penggunaan pupuk harus ditingkatkan efisiensinya. Pemanfaat mikroorganisme lokal dan bio fertilizer bisa meningkatkan efisiensi pemupukan baik pupuk organik maupun pupuk kompos. Strategi peningkatan efisiensi ini harus menjadi perhatian kita,” kata dia.