REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dijuluki Al-Mughirah bin Bardizbah atau dikenal dengan Imam Al Bukhari. Semua ulama memuji dengan mengakui ketinggian ilmunya.
"Beliau seorang imam yang tidak tercela hafalan hadisnya dan kecermatannya," kata Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam buku 198 Kisah Haji Wali-wali Allah.
Imam Al Bukhari rah mulai menghafal hadits ketika umurnya belum mencapai 10 tahun. Ia mencatat hadis lebih dari seribu orang guru, hafal 100 seratus ribu hadits shahih dan 20 ribi hadis tidak sahih.
Al Bukhori menjadi yatim sejak dia kecil. Pada saat menjelang wafatnya, ayahnya sempat berpesan, "Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu di Lampung dari harta yang syubhat."
Sejak wafatnya sang ayah, Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya. Bukhari kecil sejak usia belia telah hafal Alquran. Pada usia 10 tahun, dia mulai mendatangi majelis majelis ilmu yang tersebar di berbagai tempat di bukhara.
Pada usia 11 tahun Bukhari sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadis yang salah dalam menyampaikan urutan periwayatan hadis. Pada usia 16 tahun dia telah hafal kitab-kitab karya Imam Imam ahli hadits dari kalangan tabiin seperti karya Abdullah bin Al Mubarok, Waqi bin Jarrah rah. Pada awal usianya yang ke 18, dia diajak ibunya bersama kakaknya, Ahmad bin Ismail, berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Di Makkah, Imam Al Bukhari mendapati kota suci itu penuh dengan ulama ahli hadits yang membuka halkah-halkah Ilmu. Karena itu setelah selesai haji, dia tetap tinggal di Makkah sementara ibu dan kakaknya kembali ke Bukhara.
Kemudian dia mulai menulis biografi para tokoh kemudian lahirlah untuk pertama kalinya karya tulis dalam bidang ilmu hadis yang berjudul Kitab at-Tarik. Ketika kitab karyanya itu mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, khalayak ramai mulai memperbincangkan dan mengagumi tokoh ilmu hadis tersebut.
Imam Al Bukhari pun akhirnya terkenal di berbagai negeri Islam dan pusat-pusat ilmu hadits, seperti Mesir, Syam, Bagdad, Basrah, Kufah dan lain-lainnya. Ketika dia berkeliling ke berbagai penjuru Negeri para ulama ahli hadits menghormati.
Pada suatu hari dia duduk di majelis Ishaq bin Rahuyah. Di sana muncul suatu saran agar kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi SAW dalam satu kitab. Dengan usul inilah mulailah Imam Al Bukhari menuliskan kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dengan tempo 16 tahun sesudah itu.
"Kitab shahihnya yang kemudian terkenal dengan nama kitab shahih Al Bukhari mendapat pujian dari sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri Islam," kata Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny.