SUARA MUHAMMADIYAH -- Suasana di Stadion King Abdullah, Jeddah, terlihat lebih berwarna dari hari-hari biasanya.
Pertandingan antara Klub Al-Ahli dan Al-Batin yang digelar pada minggu ke dua di bulan Januari itu tidak lagi hanya disaksikan oleh kaum adam saja, namun juga dibanjiri oleh para perempuan yang datang lengkap dengan abaya hitamnya.
Hari itu bisa dikatakan merupakan kesempatan yang monumental bagi kaum hawa sepanjang sejarah Saudi Arabia. Untuk pertama kalinya, perempuan Saudi diperkenankan untuk masuk ke stadion publik.
Sebelumnya, pada bulan September tahun lalu untuk yang pertama kalinya kaum hawa di Arab Saudi diberikan izin untuk mengemudi meskipun kabarnya baru akan diberlakukan tahun ini.
Bahkan, salah satu hiburan yang dirindukan oleh warga Saudi yaitu bioskop, mulai kembali dibuka setelah lama dicabut ijin operasinya. Bagi masyarakat khususnya perempuan di berbagai belahan bumi lainnya, mungkin hal tersebut menjadi hal yang biasa.
Namun, di negara yang menganut doktrin Wahhabi sejak berdirinya, berbagai perubahan tersebut merupakan sesuatu yang mengejutkan.
Selain itu, dianggap sebagai bentuk reformasi yang dilakukan oleh pihak kerajaan, khususnya pasca diangkatnya Mohamad bin Salman sebagai putra mahkota pada tahun 2015.
Jika ditarik ke belakang, kelahiran negara kerajaan tersebut tidak lepas dari relasi panjang yang dibangun antara Muhammad Ibn Saud dengan peletak dasar ajaran Wahabi yaitu Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab pada abad ke 18.
Hubungan mesra tersebut bermula sejak kedatangan Abd Al-Wahhab di Najd pada tahun 1744 untuk mencari perlindungan.
Dalam penyebaran ajaran Wahhabi, Abd Al-Wahhab berupaya mendekati dan menggalang legitimasi politik dari pemimpin daerah dengan meyakinkan mereka bahwa bahwa kekhawatirannya terkait ajaran Syiah merupakan isu Islam.
Abd Al-Wahhab menyebut dirinya sebagai “pembaharu” dan mencari sosok politik yang mampu menyebarkan gagasannya kepada khalayak yang lebih luas.
Di tahun itu pula, keduanya mengucap sumpah untuk saling bekerjasama membentuk sebuah negara Islam yang mengacu kepada prinsip-prinsip Islam yang murni dan fundamental.
Melalui masa pasang surut dalam mendirikan kerajaan Arab Saudi yang panjang, koalisi yang terbangun secara turun-temurun antara keturunan Muhammad Ibn Saud dan pengikut Wahhabi di tahun 1932 melahirkan kerajaan Arab Saudi modern yang dipimpin oleh Abd al-Aziz ibn Saud.
Di bawah kepemiminan Ibn Saud, ia berhasil memperluas area kekuasaanya dan menyatukan mayoritas dari beragam suku-suku yang ada di jazirah Arab.
Keberhasilan tersebut menjadi pondasi bagi peletakan Wahhabi sebagai doktrin resmi di Arab Saudi di abad 20.
Ibn Saud yang merupakan keturunan langsung dari pengemuka paham Wahabi terdahulu, menjadikan paham tersebut dan juga ambisi politik sebagai kekuatan membangun imperium di era baru.
Ia mengembalikan ulama atau ‘Sheihk’ ke dalam fungsi trasionalnya dan merehabilitasi ulama yang dianggap membangkang dari ajaran Wahhabi. Ibn Saud menggalang dukungan kaum Wahhabi dengan memerangi gerakan anti-Wahabi serta mengganti posisi ulama-ulama lokal dengan Sheikh Wahabi.
Beberapa upaya dilakukannya dalam menginternalisasi paham Wahabi di dalam institusi modern yang dirancangnya, termasuk menempatkan praktik ibadah haji di kedua kota suci Makkah dan Madinah sesuai dengan standar ulama Wahabi.
Dinasti Saud dan ulama Wahhabi telah menjadi bak dua pilar yang saling menopang satu sama lainnya dalam membentuk pemerintahan Arab Saudi modern.
Ulama sendiri secara historis memiliki otoritas dan peran yang kuat di dalam pemerintahan maupun masyarakat Arab Saudi.
Di antaranya menstabilkan pemerintahan dan melegitimasi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (kerajaan) dengan mendukungnya melalui fatwa.
Sumber Majalah SM Edisi 03 Tahun 2018