REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Virus corona penyebab Covid-19 yang telah bermutasi N501Y sudah masuk ke beberapa negara setelah muncul di Inggris Desember ini. Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Zubairi Djoerban, mengatakan bahwa varian baru dengan tingkat infeksi lebih tinggi ini sebetulnya telah ada sejak 20 September silam.
Saya mau bicara soal varian baru virus korona, yang sebenarnya sudah ada dari 20 September silam, tapi baru disadari beberapa hari lalu. Varian baru ini bernama N501Y dan punya kemampuan infeksi yang lebih tinggi. Lebih mudah menular 70 persen. Terutama kepada anak-anak.
— Prof. Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) December 25, 2020
Menurut Prof Zubairi, mutasi menyebabkan virus corona itu lebih mudah menular 70 persen, terutama ke anak-anak. Varian virus ini sangat berpotensi besar masuk ke Indonesia.
"Potensi masuk Indonesia besar. Di Australia, Singapura sudah ada," kata dokter yang akrab disapa Prof. Beri, Sabtu (26/12).
Lebih lanjut, Prof. Beri menjelaskan lewat akun Twitter-nya, jumlah kasus aktif mencapai 100 ribuan dengan persentase 27,6 persen di Indonesia. Angka itu menurutnya tinggi sekali dan banyak rumah sakit yang kalang kabut. Bayangkan jika kasus menyentuh angka 200 ribuan atau dua kali lipat, maka akan sangat berat dan harus diiantisipasi.
“Saya tidak bermaksud bikin panik, tetapi mengingatkan karena begitulah situasinya. Tenaga medis pasti tahu betul kasus aktif pasti naik cepat atau lambat. Makannya mereka terus mengingatkan lewat berbegai media. Itu sah-sah saja, bukan panik atau pesmistik,” katanya.
Menurut Prof. Beri, diperlukan sesegera mungkin menambah jumlah rumah sakit rujukan maupun tenaga medis serta obat yang dibutuhkan. Apalagi, klaster liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) di depan mata.
Prof. Beri menepis anggapan tes PCR tak mampu mendeteksi varian baru. Ia juga menjelaskan bahwa vaksin hampir pasti mempan terhadap virus corona yang bermutasi.
Pandemi Covid-19 membuat Prof. Beri teringat saat dirinya menemukan kasus AIDS pertama di Indonesia pada 1983. Pemerintah saat itu menyangkal karena Indonesia negara berbudaya dan agamis.
Padahal, menurut Prof. Beri, HIV/AIDS tidak ada hubungannya dengan kultur dan agama. Saat Covid-19 masuk Indonesia, kasusnya juga mirip karena sempat disangkal oleh pemerintah.