REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR - Pemerintah India menahan sedikitnya 75 pemimpin politik dan aktivis Kashmir. Penahanan tersebut untuk mencegah kericuhan politis setelah suatu aliansi partai di wilayah itu memenangkan pemilu setempat.
Menurut sejumlah pejabat dan satu petugas kepolisian pada Sabtu (26/12) disebutkan pemilihan Dewan Distrik, yang selesai dilaksanakan pada awal pekan ini, merupakan pemilihan pertama yang diselenggarakan sejak pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mencabut status khusus Kashmir pada tahun lalu.
New Delhi kemudian mengambil tindakan keras terhadap oposisi serta menangkap ratusan orang di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim itu untuk mencegah aksi protes dan kerusuhan.
Sementara penahanan terbaru ini, termasuk terhadap para pemimpin separatis dan anggota kelompok terlarang Jamat-e-Islami, dilakukan sebagai penahanan preventif, kata seorang pejabat senior kepolisian yang enggan disebut identitasnya.
India dan Pakistan berselisih atas klaim masing-masing terhadap seluruh wilayah Kashmir sejak pembagian wilayah India bekas jajahan Inggris menjadi Pakistan yang mayoritas Muslim dan India dengan mayoritas Hindu pada 1947.
Dua dari tiga perang yang berlangsung antara kedua belah pihak terjadi atas wilayah Kashmir.
Sementara Imran Nabi Dar, Juru Bicara Konferensi Nasional --partai regional dan anggota kunci aliansi di Kashmir, menyebut penahanan tersebut meremehkan suara rakyat.
Kemenangan aliansi partai menunjukkan warga Kashmir tidak menerima keputusan Modi untuk mengakhiri status khusus wilayah itu, kata Omar Abdullah, mantan ketua menteri dan kepala Konferensi Nasional.
Setelah pembebasan dari penahanan, Abdullah dan Mehbooba Mufti, ketua Partai Demokrat Rakyat Jammu dan Kashmir, pada Oktober mengumumkan partai mereka, untuk mengupayakan restorasi otonomi secara damai di Kashmir.