REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Suami yang sudah tidak mampu memberi nafkah sementara istri memiliki penghasilan lebih, bahkan istri inilah yang menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Apakah status nafkah dari istri ini adalah utang bagi suami?
Direktur Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menjelaskan secara hukum fiqih boleh saja suami berutang kepada istri untuk memenuhi nafkahnya, namun hal itu kurang elok secara etika. Selain fiqih yang fokus pada ranah hukum perlu juga mengamalkan Ihsan yang menjadi ranah akhlak.
Dia menjelaskan, secara fikih saat suami tidak mampu memberi nafkah terendah, memang dijelaskan dalam Mazhab Syafi'I ada pilihan bagi istri yaitu:
ﺇﺫا ﺃﻋﺴﺮ اﻟﺰﻭﺝ ﺑﻨﻔﻘﺔ اﻟﻤﻌﺴﺮ ﻓﻠﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻔﺴﺦ اﻟﻨﻜﺎﺡ "Jika suami menjadi miskin tidak mampu memberi nafkah orang miskin maka istri boleh membatalkan pernikahan, ke Pengadilan Agama." (Majmu' 10/267)
Hanya saja, Kiai Ma’ruf mengingatkan bagi istri perlu berpikir 1.000 kali untuk memutuskan 'gugatan cerai' ini.
Sebab masalah ini bukan sekadar kesabaran saat ketiadaan rezeki, melainkan juga masa depan anak, kasih sayang keluarga, dan sebagainya.
Adalah bentuk kemuliaan yang tinggi dan akhlak mulia mana kala istri tidak menuntut hak nafkahnya karena suami dalam keadaan sulit mencari kerja.
“Isqath Al-Huquq (menggugurkan hak atau tidak menuntut hak istri) ini berdasarkan riwayat hadits:
ﻗﺎﻟﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﻗﺪ ﺟﻌﻠﺖ ﻳﻮﻣﻲ ﻣﻨﻚ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ “Saudah binti Zam'ah berkata: "Wahai Rasulullah, aku jadikan hari giliranku untuk Aisyah." (HR Muslim)