REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kapolda Metro Jaya Irjen M Fadil Imran menggelar silaturahim bertajuk "Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebhinekaan" dengan tokoh lintas agama di Mapolda Metro Jaya, Ahad (27/12).
Silaturahim tersebut turut dihadiri Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman, Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Wakil Ketua MUI Marsudi Syuhud, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Cak Nanto, dan Ketua MUI DKI Jakarta Munahar Muchtar.
Ketua Umum Majelis Taklim Kader Gus Dur Yenny Wahid, Ketua DPP PGI Pendeta Gomar Gultom, Ketua DPP KWI Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Ketua PHDI Pusat Wisnu Bawa Teyana, Ketua DPP Walubi Siti Hartati Murdaya dan Ketua Matakin Pusat Budi Santoso Tanuwibowo.
Fadil mengatakan, Indonesia adalah mozaik keberagaman yang terdiri atas berbagai suku, agama maupun ras, mesti diikat dengan kesadaran untuk bersekutu di atas keyakinan menegakkan kedaulatan.
"Nasionalisme kebangsaan dibentuk tidak dengan menyembunyikan aneka perbedaan tapi dengan menghormati keberagaman demi terus melanggengkan maslahat bagi seluruh warga negara," kata Fadil di Balai Pertemuan Polda Metro Jaya.
Fadil menuturkan, peradaban dan kemajuan besar dunia ditopang oleh tiga hal, yaitu pengetahuan, kemajemukan dan toleransi. Dia mengatakan, pengetahuan melahirkan kehidupan yang makin unggul pada semua bidang lewat teknologi informasi.
Kemajemukan, sambung dia, memungkinkan setiap orang atau bangsa saling mempertukarkan pengalaman, kearifan dan kebudayaan yang terbaik. Sedangkan toleransi memberi ruang perbedaan tumbuh dan saling menyemai sehingga kehidupan bersama bisa disanggah.
Dalam pertemuan itu, Ketua Gerakan Gus Dur, Allisa Wahid mengatakan, keberagaman adalah salah satu landasan fundamental dari lahirmya Indonesia. "Gus Dur menuliskan 'Indonesia ada karena keberagaman, kalau tidak ada keberagaman tidak perlu ada Indonesia'," kata Allisa Wahid mengutip Gus Dur.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengajak seluruh masyarakat untuk menjadikan agama sebagai inspirasi bukan sebagai aspirasi. "Saya mengajak kita semua menjadikan agama sebagai inspirasi bukan sebagai aspirasi. Itu apa artinya? Yang paling sederhana adalah kita belakangan ini merasakan sudah ada yang berusaha menggiring agama menjadi norma konflik," kata Yaqut.
"Dijadikan norma konflik itu dalam bahasa yang paling ekstrem, siapa pun yang berbeda dengan dia dan keyakinannya maka dia dianggap lawan, dia dianggap musuh, karena namanya musuh, namanya lawannya, harus diperangi, kalau istilah kerennya Mbak Lisa ini 'Populisme Islam'," kata Yaqut menambahkan.
Karena itu, dia pun berharap agar segala hal yang mengancam tenun kebangsaan dan kebinekaan bisa ditekan sedini mungkin agar tidak berkembang luas hingga sulit dikendalikan. "Saya tidak ingin, kita semua tidak ingin, 'Populisme Islam' ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya, maka di pidato pertama itu saya sampaikan mari kita semua menjadikan agama sebagai inspirasi bukan sebagai aspirasi," ujar Yaqut.