REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana di Stadion King Abdullah, Jeddah, terlihat lebih berwarna dari hari-hari biasanya. Pertandingan antara Klub Al-Ahli dan Al-Batin yang digelar pada minggu ke dua di bulan Januari itu tidak lagi hanya disaksikan oleh kaum adam saja, namun juga dibanjiri oleh para perempuan yang datang lengkap dengan abaya hitamnya.
Hari itu bisa dikatakan merupakan kesempatan yang monumental bagi kaum hawa sepanjang sejarah Saudi Arabia. Untuk pertama kalinya, perempuan Saudi diperkenankan untuk masuk ke stadion publik.
Sebelumnya, pada bulan September 2017 untuk yang pertama kalinya kaum hawa di Arab Saudi diberikan izin mengemudi meskipun kabarnya baru akan diberlakukan tahun ini. Bahkan, salah satu hiburan yang dirindukan oleh warga Saudi yaitu bioskop, mulai kembali dibuka setelah lama dicabut izin operasinya.
Bagi masyarakat khususnya perempuan di berbagai belahan bumi lainnya, mungkin hal tersebut menjadi hal yang biasa. Namun, di negara yang menganut doktrin Wahhabi sejak berdirinya, berbagai perubahan tersebut merupakan sesuatu yang mengejutkan.
Selain itu, dianggap sebagai bentuk reformasi yang dilakukan oleh pihak kerajaan, khususnya pascadiangkatnya Mohamad bin Salman sebagai putra mahkota pada tahun 2015. Jika ditarik ke belakang, kelahiran negara kerajaan tersebut tidak lepas dari relasi panjang yang dibangun antara Muhammad Ibn Saud dengan peletak dasar ajaran Wahabi, yaitu Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab pada abad ke 18.