REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Indonesia bekerja sama dengan BSM Umat, Kidzsmile Foundation dan Gema Indonesia Menyusui menggelar kegiatan pengabdian masyarakat beberapa waktu lalu. Kegiatan ini mengusung tema Pelatihan Pengelolaan Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) pada situasi bencana. Kegiatan yang dilakukan dimulai dengan pelatihan bagi aktivis kemanusiaan sebanyak 50 orang mengikuti sesi daring yang diadakan 2-4 November 2020 dan 21 orang mengikuti sesi luring pada 7-9 November 2020.
Pada sesi daring peserta dipaparkan pentingnya pemberian makan bayi dan anak (PMBA) pada situasi bencana sebagai kelompok rentan yang sangat membutuhkan perhatian. Sedangkan pada sesi luring, peserta diajak mengelola dapur PMBA pada situasi pandemik untuk membantu balita dan ibu hamil memenuhi kebutuhan makannya. Kegiatan latihan pengelolaan PMBA dilakukan di dua tempat lokus stunting di Bojongsari Depok dan kelurahan Ancol (Kp. Muka).
Happy Hayati, Ketua Tim Program IPTEK bagi Masyarakat FIK Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, pelaksanaan di dua tempat tersebut dilakukan dalam satu waktu. Peserta luring dibagi menjadi dua kelompok. Pelatihan luring ini dimulai dengan komunikasi bersama ketua RW, pihak Puskesmas, ketua posyandu, dan kader posyandu untuk persiapan pembuatan dapur PMBA.
“Berdasarkan data balita ditentukanlah jumlah porsi makanan yang diberikan untuk 120 porsi di tiap tempat (seluruhnya berjumlah 240 balita) yang mendapatkan manfaat makanan sesuai usia,” ujar Happy lewat keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (29/12).
Setiap kelompok melakukan persiapan dan survei selama dua hari sebelum mulai memasak. Pada saat awal sebelum memulai masak, edukasi tentang PMBA didiskuskikan bersama kader yang akan membantu memasak. Pada hari berikutnya edukasi juga diberikan kepada ibu-ibu balita yang membawa balitanya ke posko untuk mengambil makanan yang disiapkan. Beberapa ibu yang tidak dapat datang ke posko, makanan diantar ke pusat masing-masing RT dan diberikan edukasi di tempat tersebut.
Hari pertama pembagian makanan, dimulai dengan belanja untuk keperluan memasak bagi 120 balita pada satu kali makan besar. Bersama kader memasak, peserta menyajikan sesuai tekstur dan jumlah yang dapat di makan sesuai usia bayi dan anak. Pada hari pertama, menyediakan makan siang. Hari kedua dan ketiga terdapat perbedaan jumlah pemberian antara kelompok Bojongsari dan kelompok Kp Muka.
Kelompok Bojongsari menyediakan tiga kali makan (pagi, siang, sore) pada hari kedua, sedangkan kelompok Kp Muka dua kali makan (siang dan sore). Hari ketiga sebaliknya, tiga kali untuk Kampung Muka dan dua kali di Bojong Sari. Perbedaan tersebut dilakukan atas diskusi serta kesepakatan kelompok bersama masyarakat dan panitia pelatihan. Waktu pemberian untuk makan pagi, siang ataupun sore disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan warga setempat tanpa menghilangkan unsur keilmuan dari PMBA tentang frekuensi makan.
Pada saat proses distribusi makanan ke warga langsung, peserta juga melakukan rapid health assessment (RHA) untuk mengetahui keadaan status pertumbuhan anak secara cepat. Apabila ditemukan balita dengan status gizi atau pola makan bermasalah maka dapat dirujuk ke konselor atau tenaga kesehatan. Pada saat ini, ditemukan beberapa balita yang membutuhkan konseling PMBA sehingga selanjutnya konselor yang ikut bergabung dalam tim mendatangi rumah warga.
Kunjungan ke rumah warga untuk memberikan edukasi tersebut dilakukan oleh konselor maupun peserta dengan protokol kesehatan ketat. RHA ini juga dapat diaplikasikan oleh peserta saat terjun ke lokasi bencana lainnya yang tentunya memberi manfaat untuk penanganan status gizi balita.
Happy menjelaskan, situasi pandemi ini memang membuat situasi perekonomian juga mengalami penurunan, beberapa warga kesulitan disebabkan mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini juga berdampak pada ketersediaan pangan keluarga. Oleh karena itu, bantuan berupa pembuatan dapur PMBA yang bersinergi dengan warga menjadi berguna bermakna untuk membantu memenuhi kebutuhan balita. Selain itu yang terpenting adalah ikut terus membantu program penanggulangan stunting dengan mengedukasi warga tentang PMBA yang direkomendasikan.
Pelatihan ini bertujuan untuk menciptakan aktivis kemanusiaan yang sigap turun saat bencana, memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memperhatikan bantuan makanan bagi kelompok rentan dengan membuat dapur PMBA. Pelatihan ini juga mengedukasi tentang PMBA yang sesuai rekomendasi, dan melakukan kajian cepat agar dapat dirujuk kepada tenaga kesehatan yang kompeten.
Rentan gizi saat bencana
Makanan bagi bayi dan anak menjadi masalah penting yang perlu mendapat perhatian lebih pada situasi bencana. Makanan yang tidak memenuhi standar gizi saat kondisi bencana menjadi penyumbang penyakit diare dan kekurangan gizi pada anak.
Happy menjelaskan, hal tersebut dapat dilihat dari contoh balita penyintas bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2018 di Kelurahan Buluri, Kota Palu, Provinsi Sulawasi Tengah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasrul, dkk, jumlah balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang masing-masing bertambah 1 orang atau dengan presentase pertambahan sebanyak 11,7%.
Menurut dia, salah satu gambaran yang dapat dilihat adalah dari kondisi pengungsian di Kabupaten Karangasem pasca letusan Erupsi Gunung Agung pada 2017 lalu. Subratha melakuan penelitian kualitatif bagaimana balita di tempat pengungsian tersebut memperoleh asupan gizinya dan hasilnya terdapat tiga tema besar yang mendasarinya pertama pola pemberian ASI, pola pemberian makanan, dan permasalahan pemberian makanan yang terjadi. Ibu-ibu di tempat pengungsian tersebut merasakan berbagai hambatan menyusui karena stress, panik, dan takut sehingga menjadi tidak percaya diri untuk menyusui.
Beranjak pada masalah makan, balita di pengungsian mengalami penurunan nafsu makan, menjadi malas makan, dan ibu-ibu merasa variasi makan yang monoton turut menjadi penyebab anak tidak mau makan. Masalah lain ditemukan saat pada proses pemberian makan pada balita yaitu makanan pada anak-anak tidak dibedakan dengan makanan pada orang tuanya seperti bumbu yang terlalu tajam dan pedas. Orang tua pun tidak mempunyai pilihan lain untuk memberikan makan pada anaknya dikarenakan harta yang telah hilang dan lahan pertanian sebagai pekerjaan mereka pun sudah hilang. Akibatnya, balita-balita tersebut terpaksa makan seadanya.
Kondisi memprihatinkan untuk bayi dan anak di situasi tersebut dapat diatasi oleh pengelolaan dapur PMBA pada situasi bencana. Dapur PMBA tidaklah serumit yang dibayangkan. Dapur ini tidak membutuhkan kemampuan khusus untuk memasak, bahkan bisa menjadi satu dengan dapur umum. Hanya saja, yang perlu dipersiapkan adalah relawan kemanusiaan yang terjun mampu memberikan tekstur sesuai dengan usianya, menyediakan jumlah makanan sesuai usia, serta memahami variasi kebutuhan makanan bayi dan anak. Oleh sebab itu, melatih aktivis kemanusiaan untuk mampu mengelola dapur PMBA menjadi hal sangat penting yang perlu dilakukan supaya kebutuhan gizi bayi dan anak tetap tercukupi dengan baik.