REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Membedakan mana yang tradisi Nabi dan mana yang bukan sejatinya telah muncul di era Madinah di masa tabi tabi’in.
Kajian, yang dalam tradisi ilmiah modern disebut antropologi pun, dilakukan generasi tabi’ tabi’in untuk menyeleksi mana saja yang bukan tradisi Nabi dan mana saja yang turun-temurun diwarisi dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku Ilmu Living Quran-Hadis karya Ahmad Ubaydi Hasbillah dijelaskan, pada generasi Malik bin Anas (93 H-179 H) yang merupakan anak dari seorang generasi tabi’in, Madinah pada masa itu benar-benar asli melestarikan tradisi Nabi. Maka dari sanalah, Malik bin Anas melakukan kajian antropologi budaya kenabian.
Malik menyeleksi ketat mana yang bukan tradisi Nabi dan mana saja yang termasuk tradisi Nabi. Hal ini terlihat misalnya dari puasa sunnah Syawal yang bagi Malik adalah tidak ada.
Meskipun hadisnya sangat populer hingga saat ini. Kesimpulan Malik tersebut karena ia tidak menemukan adanya lived tradition, popular tradition, dan practical religion.
Yakni berupa puasa Syawal yang dilakukan orang-orang Madinah pada masanya, maupun pada masa generasi sebelumnya. Teori amal Madinah (tradisi Madinah) kemudian dicetuskan Malik bin Anas, dan teori ini dijadikan hujjah atau bahkan sebagai sumber hukum Islam.
Selanjutnya, teori amal ahli Madinah sebagai bukti ilmiah kesejarahan ilmu living Quran-Hadis diakui para ulama.
Bahkan bagi mazhab yang menolak menjadikan teori ini sebagai sumber hukum Islam, pun sebenarnya tidak menolak keberadaannya. Artinya mereka masih mengakui bahwa tradisi Madinah awal adalah tradisi kenabian yang masih lestari.
Teorisasi amal ahli Madinah oleh Malik adalah termasuk fondasi awal kajian ilmiah living Quran-Hadis yang terbangun pada sekitar abad ke-2 Hijriyah. Melalui teori ini setidaknya dapat diketahui bagaimana pola interaksi masyarakat Madinah saat itu dengan Alquran dan hadits.