Kamis 31 Dec 2020 08:58 WIB

Persis: Pembubaran FPI Bernuansa Intimidasi Kelompok Oposisi

Menurut Ustaz Jeje Zaenudin, cara pemerintah membubarkan FPI berpotensi pendzaliman.

Rep: Ali Mansur/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis), Ustaz Jeje Zaenudin.
Foto: Dok Istimewa
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis), Ustaz Jeje Zaenudin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menyayangkan langkah pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI). Persis termasuk ormas yang berdiri pada 12 September 1923 di Bandung, Jawa Barat, sebelum Republik Indonesia (RI) merdeka pada 17 Agustus 1945.

Wakil Ketua Umum PP Persis, Ustaz Jeje Zaenudin mengatakan, cara pemerintah membubarkan FPI sangat berpotensi besar terjadi pendzaliman. Menurut dia, pembubaran ormas tanpa pengadilan itu berpotensi membunuh sistem demokrasi itu sendiri.

"Pertama, kita tentu sangat menyesalkan dan prihatin atas sikap pemerintah dalam memperlakukan ormas yang dinilainya melanggar hukum dengan cara langsung membubarkannya tanpa proses peradilan ataupun dialog terlebih dahulu," ujar Jeje dalam siaran pers, Kamis (31/12).

Jeje menilai, pembubaran atau pelarangan dan pembekuan semua aktivitas FPI, dikhawatirkan ditafsirkan bernuansa 'intimidasi' pemerintah terhadap kelompok kritis yang beroposisi. Pasalnya, dalam saat yang berdekatan dengan peristiwa tewasnya enam orang pengawal Habib Riziq Shihab (HRS) di tangan aparat.

Pun dengan kondisi HRS sebagai pemimpin tertinggi FPI sedang ditahan. "Begitu juga beberapa pimpinan utamanya sedang dalam proses pemeriksaan kepolisian," kata Jeje.

Kedua, lanjut Jeje, bagaimana pun keberadaan prmas itu dilindungi oleh hukum dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi, mengayomi dan membinanya. Sehingga bisa konstruktif, bukan dengan cara bubar membubarkan begitu saja.

Kecuali ormas yang mengusung ideologi yang dengan tegas dilarang keberadaannya oleh undang-undang di Indonesia, seperti ideologi komunisme dan sejenisnya. Ketiga, sambung Jeje, sebagai warga negara yang baik tentu wajib sepakat menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadaban berbangsa-bernegara di atas kepentingan kelompok, kepentingan politik aliran.

Bahkan di atas kepentingan kekuasaan itu sendiri. Itu demi terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Pemahaman, penafsiran, dan penegakan hukum, menurut Jeje, tentu bukan monopoli pemerintah.

"Apalagi jika dimaksudkan untuk membungkam kelompok kritis yang dipandang mengganggu kekuasaan. Tetapi untuk terciptanya keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya," terang Jeje.

Karenanya, Jeje menegaskan, pemerintah juga berkewajiban membina dan memberi contoh tauladan kepada masyarakat dalam menciptakan kultur hukum yang kuat, yaitu budaya dan adab ketaatan pada hukum dan perundangan-undangan yang berlaku. Sehingga negara tidak hanya memandang masyarakatnya, atau ormas saja yang dijadikan objek penegakan hukum.

"Tetapi masyarakat juga harus menjadi cerdas, ikut menjadi bagian pengawalan tegaknya hukum dengan membangun budaya taat pada aturan-aturan kehidupan berbangsa dan bernegara guna terciptanya kedamaian, dan ketentraman bersama," ucap Jeje.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement