REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA
-------------
Ujaran kebencian, politik identitas, kontestasi elektoral menjadi narasi utama yang menyesaki ruang publik di tengah wabah. Polarisasi politik demikian mengarahkan pada apa yang disebut dengan regresi demokrasi.
Sebuah kondisi yang secara formal bergenre demokratis, namun di dalamnya keruh dan defisit atas nilai-nilai. Akhirnya antara logika pemerintah dan logika publik tidak ketemu.
Mereka saling curiga, elite politik sebagai representasi negara “dituduh” tidak hadir dan tidak adil, sementara masyarakat dianggap “tidak patuh” terhadap kebijakan-kebijakan yang diproduksi pemerintah. Kondisi seperti ini tentu tidak kondusif untuk melakukan pemulihan-pemulihan di berbagai sektor di tengah pandemi yang tak kunjung usai.
Di tahun baru ini, selayaknya setiap diri termasuk negara melakukan evaluasi dan menetapkan resolusi. Setiap individu mempunyai mekanisme untuk mengevaluasi diri termasuk membuat target-target capaian untuk lebih baik lagi.
Negara pun demikian, perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang belum optimal dan membuat resolusi-resolusi terbaik dengan mengarusutamakan rakyat.
Bagaimana politik pemulihan dilakukan, apakah untuk mencapai harmoni, semuanya harus diseragamkan?