Kamis 31 Dec 2020 18:56 WIB

Ledakan di Bandara Yaman Bunuh 26 Orang

Sumber ledakan masih belum diketahui dan tidak ada kelompok yang mengaku

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Sebuah ledakan besar menghantam bandara di kota Aden, Yaman selatan, pada Rabu (30/12).
Foto: EPA
Sebuah ledakan besar menghantam bandara di kota Aden, Yaman selatan, pada Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, ADEN -- Sebuah ledakan besar menghantam bandara di kota Aden, Yaman selatan, pada Rabu (30/12). Kementerian Dalam Negeri Yaman mengatakan sedikitnya 26 orang tewas dan lebih dari 50 lainnya cedera dalam ledakan itu.

Sumber ledakan masih belum diketahui dan tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas penyerangan bandara tersebut. Ledakan ini terjadi setelah pesawat yang mengangkut perwakilan Arab Saudi mendarat dan tidak ada seorang pun di pesawat pemerintah yang terluka.

Baca Juga

Dikutip dari Aljazirah, beberapa jam setelah serangan itu ledakan kedua terdengar di sekitar istana kepresidenan Maasheq Aden. Tempat ini sedang menampung anggota kabinet termasuk Perdana Menteri Maeen Abdulmalik serta duta besar Saudi untuk Yaman.

Saat ledakan, orang-orang penting dari kedua negara pun langsung dibawa ke tempat aman. Hingga berita ini dibuat, belum diketahui pula alasan dan pemicu ledakan tersebut.

"Serangan berbahaya, pengecut dan teroris ini, menempatkan pemerintah di jantung tanggung jawabnya, yang merupakan tugas mengakhiri kudeta, memulihkan negara, menyebarkan stabilitas dan pemulihan negara kita,” kata Abdulmalik.

Menteri Informasi Yaman, Moammar Al-Eryani, menyalahkan serangan itu pada Houthi yang didukung Iran. Dia menyatakan semua anggota pemerintah aman.

"Kami meyakinkan orang-orang hebat kami bahwa anggota pemerintah baik-baik saja, dan kami meyakinkan Anda bahwa serangan teroris pengecut oleh milisi Houthi yang didukung Iran tidak akan menghalangi kami untuk melaksanakan tugas patriotik kami," kata Al-Eryani di Twitter dan Houthi pun membantah bertanggung jawab atas serangan itu.

Pemerintah Yaman yang baru dilantik pada 18 Desember oleh Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi. Proses ini adalah bagian dari kesepakatan pembagian kekuasaan yang ditengahi oleh Arab Saudi pada 2019.

Dipimpin oleh Perdana Menteri Abdulmalik, pemerintahan baru mewakili wilayah utara dan selatan Yaman dengan jumlah anggota yang sama untuk setiap wilayah. Pembentukannya adalah hasil dari kompromi antara milisi yang didukung Uni Emirat Arab di Dewan Transisi Selatan dan loyalis Presiden Hadi yang didukung Saudi.

Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri bentrokan militer antara pihak-pihak tersebut, sehingga mereka dapat bertempur sebagai sekutu melawan gerakan pemberontak Houthi. Tahun lalu, Houthi menembakkan rudal ke parade militer pejuang yang baru lulus dari kelompok yang setia kepada UEA di pangkalan militer di Aden, menewaskan puluhan orang.

Yaman, negara termiskin di dunia Arab, telah dilanda perang saudara sejak 2014, ketika pemberontak Houthi menguasai utara dan Sanaa. Tahun berikutnya, koalisi militer yang dipimpin Saudi turun tangan untuk berperang melawan Houthi dan mengembalikan pemerintahan Hadi ke tampuk kekuasaan.

Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 112 ribu jiwa, termasuk ribuan warga sipil. Konflik tersebut juga mengakibatkan krisis kemanusiaan terparah di dunia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement