Jumat 01 Jan 2021 16:25 WIB

Penyintas Covid-19 Diusik Bau Amis dan Belerang, Apa Sebab?

Long hauler Covid-19 melaporkan hidungnya terus mencium bau amis dan belerang.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Reiny Dwinanda
Ikan. Bau amis dan belerang terus tercium oleh penyintas Covid-19 yang termasuk long hauler.
Foto: Adiwinata Solihin/ANTARA
Ikan. Bau amis dan belerang terus tercium oleh penyintas Covid-19 yang termasuk long hauler.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan baru mengungkapkan para long hauler Covid-19 mengalami beberapa gejala baru. Long hauler adalah sebutan bagi penyintas Covid-19 yang masih mengeluhkan adanya gejala-gejala bagian dari Covid-19.

Gangguan baru yang terlaporkan ialah adanya distorsi indra penciuman. Mereka melaporkan hidungnya terus saja mencium bau tak sedap, mulai dari bau amis, belerang, hingga aroma sesuatu yang terbakar.

Baca Juga

Sky News melaporkan, konsultan ahli bedah Telinga Hidung Tenggorok (THT) Inggris, Profesor Nirmal Kumar, mengaitkan gangguan pada indra penciuman itu dengan parosmia. Dia menyebut, gejala baru ini sebagai gejala aneh dan unik.

Menurut National Institutes of Health, parosmia menandakan "persepsi bau" yang berubah atau ketika sesuatu yang biasanya berbau harum sekarang berbau busuk. Meskipun laporan tentang long hauler yang mengeluhkan terciumnya bau busuk muncul sejak awal 2020, parosmia belum masuk ke daftar gejala terkait Covid-19 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.

Di lain sisi, CDC menyebut akan terus memperbarui daftar tersebut. Saat ini, pihaknya tengah mempelajari lebih lanjut tentang Covid-19.

photo
Parosmia dan phantosmia usik penyintas Covid-19 - (Republika)

"Ada dua sistem sensorik di hidung kita. Kita dapat mendeteksi wewangian yang menyenangkan melalui saraf penciuman, sedangkan bau berbahaya dan beracun dideteksi oleh saraf trigeminal," kata Asisten Profesor Neurologi Mount Sinai Hospital, dr. Susan Shin, beberapa waktu lalu.

Shin menjelaskan, saraf trigeminal mungkin lebih tahan terhadap efek patogen virus dibandingkan dengan saraf penciuman. Sebab, manusia membutuhkannya untuk mendeteksi bahaya di lingkungan, seperti mencium asap dari api.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement