REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Ethiopia pada Jumat (1/1) melaporkan pasukan keamanan Ethiopia menewaskan lebih dari 75 orang dan melukai hampir 200 orang. Jumlah tersebut merupakan korban selama kerusuhan etnis yang mematikan pada Juni-Juli menyusul pembunuhan seorang penyanyi populer.
Laporan komisi tersebut mengatakan 123 orang tewas dan sedikitnya 500 orang terluka di tengah salah satu wabah kekerasan etnis terburuk di negara itu dalam beberapa tahun. Korban jiwa dan terluka ini terjadi karena sebuah serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan. Beberapa korban dipenggal, disiksa, atau diseret di jalan oleh penyerang.
Kekerasan etnis adalah tantangan besar bagi Perdana Menteri pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Abiy Ahmed. Dia telah mendorong persatuan nasional di antara lebih dari 80 kelompok etnis di negara terpadat kedua di Afrika.
Kerusuhan pada Juni dan Juli pecah menyusul pembunuhan penyanyi Hachalu Hundessa. Kasus itu telah menjadi suara terkemuka dalam protes anti-pemerintah yang menyebabkan Abiy yang menjabat pada tahun 2018 dan mengumumkan reformasi politik besar-besaran. Reformasi tersebut akhirnya membuka jalan protes etnis dan lainnya yang telah lama berkobar.
Komisi HAM menemukan bahwa di tengah protes jalanan setelah kematian Hachalu, warga sipil diserang di dalam rumah mereka oleh pelaku individu dan kelompok. Mereka dipukuli serta dibunuh di jalan-jalan dengan cara yang mengerikan dan kejam seperti menggunakan tongkat, pisau, kapak, batang besi tajam, batu, dan kabel listrik.
Lebih dari 6.000 orang mengungsi dan sedikitnya 900 properti dijarah, dibakar, atau dirusak. Serangan tersebut sering menargetkan etnis Amhara atau Kristen Ortodoks.
"Meskipun dapat dimengerti bahwa pasukan keamanan memiliki tugas yang menantang untuk memulihkan ketertiban dalam menghadapi kekerasan yang meluas seperti itu, proporsionalitas pasukan yang digunakan dalam beberapa konteks sangat dipertanyakan," kata laporan itu.
Sebagai contoh, di beberapa komunitas temuan Komisi HAM menunjukkan ada orang yang tewas dengan luka tembak di kepala, tembakan ke dada, atau punggung. Orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam protes seperti pejalan kaki, pengamat yang mengamati dari depan pintu rumah.
Orang muda, orang tua yang mencoba menengahi, orang dengan penyakit mental, dan bahkan petugas polisi, juga kehilangan nyawa. Dalam kasus lain, Komisi HAM menemukan bahwa otoritas dan keamanan lokal tidak menanggapi panggilan berulang para korban untuk meminta bantuan. Justru sebaliknya, mereka malah diberitahu bahwa atasan tidak memberikan perintah untuk campur tangan.
"Korban selamat dan saksi juga menceritakan bagaimana kadang-kadang polisi berdiri mengawasi saat serangan itu terjadi," ujar laporan Komisi HAM.
Beberapa pengawas telah memperingatkan kembalinya tindakan represif di Ethiopia. Kondisi ini terjadi ketika pihak berwenang bergulat dengan ujaran kebencian dan kekerasan etnis.
Kerusuhan itu memang tidak terkait dengan konflik di wilayah Tigray utara Ethiopia yang dimulai pada awal November. Akan tetapi itu adalah tanda lain dari ketegangan yang melanda negara berpenduduk sekitar 110 juta orang di jantung Tanduk Afrika.
Hasil laporan didapatkan dari wawancara dengan pejabat pemerintah dan tokoh keamanan. Investigasi komisi ini juga melibatkan kunjungan ke sekitar 40 komunitas.
Temuan tersebut pun tidak menemukan indikasi upaya berkelanjutan untuk menyelidiki penggunaan kekuatan oleh petugas keamanan selama kerusuhan dan untuk meminta pertanggungjawaban sehingga menyebabkan penderitaan manusia yang tidak perlu.
"Kejahatan terhadap kemanusiaan seperti ini dikombinasikan dengan konteks nasional saat ini adalah tanda bahwa risiko kejahatan kekejaman, termasuk genosida, meningkat," ujar lembaga itu.
Atas temuan tersebut, Komisi HAM pun menyerukan penyelidikan, keadilan, dan solusi yang permanen dan institusional. Cara ini ditempuh untuk menangani peningkatan tren diskriminasi dan serangan terhadap minoritas.