REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarator Front Persatuan Islam yang juga Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman enggan menanggapi terbitnya Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) nomor Mak/1/I/2021 tertanggal 1 Januari 2021.
Maklumat Kapolri ini tentang kepatuhan terhadap larangan kegiatan, penggunaan simbol, serta atribut yang berhubungan dengan Front Pembela Islam.
"Akhir zaman banyak ruwaibidhah pegang kuasa," ujar Munarman dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Sabtu (2/1).
Jika merujuk pada hadis nabi Muhammad SAW, ruwaibidhah adalah orang bodoh yang ikut campur dalam urusan masyarakat luas.
Menurut Munarman, kini manusia sedang hidup pada tahun-tahun penuh kebohongan, orang bohong dianggap jujur, orang jujur dianggap bohong, pengkhianat dianggap amanah, dan orang amanah dianggap pengkhianat.
Ia pun menyebutkan lima jenis peraturan yang menjadi sumber hukum di Indonesia, antara lain, Undang-Undang Dasar (UU), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, dan Peratuan Daerah (Perda).
"Sumber hukum di Indonesia adalah pertama UUD, kedua UU, ketiga PP, keempat Peraturan Menteri, kelima Perda," kata Munarman.
Sebelumnya, Maklumat Kapolri berisi empat hal yang disampaikan. Pasal 2a menyebutkan, masyarakat tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memfasilitasi kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut FPI.
Pasal 2b menyatakan, masyarakat segera melaporkan kepada aparat yang berwenang apabila menemukan kegiatan, simbol, dan atribut FPI serta tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Pasal 2c berbunyi, mengedepankan Satpol PP dengan didukung sepenuhnya oleh TNI-Polri untuk melakukan penertiban di lokasi-lokasi yang terpasang spanduk atau banner, atribut, pamflet, dan hal lainnya terkait FPI.
Kemudian, Pasal 2d menyebutkan, masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.
Namun, Pasal 2d ini memicu kontroversi serius dari berbagai kalangan. Salah satunya, komunitas pers yang diinisiasi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Hendriana Yadi, Sekretaris Jenderal Pewarta Foto Indonesia (PFI) Hendra Eka, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Kemal E Gani, serta Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut.
Komunitas Pers menilai, Pasal 2d Maklumat Kapolri itu tidak sesuai dengan amanat Pasal 28F UUD 1945 tentang jaminan hak warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Komunitas Pers juga menilai Maklumat Kapolri mengancam tugas jurnalis dan media yang mencari dan menyebarkan informasi kepada publik berdasarkan Pasal 4 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.