REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Peraturan wajib kremasi bagi jenazah Muslim yang meninggal akibat Covid-19 di Sri Lanka dinilai murni sebagai suatu tindakan politik. Seorang pemimpin agama dari Dewan Muslim Inggris, menyebut tindakan itu sebagai suatu hal yang tidak dapat diterima.
"Ini adalah tindakan politik, di mana hukuman kolektif diberikan kepada komunitas Muslim karena alasan politik," kata Sekretaris Jenderal wadah kelompok Muslim terbesar di Inggris, Dewan Muslim Inggris (MCB), Sir Iqbal Sacraine, dilansir di Anadolu Agency, Ahad (3/1).
Sacraine lantas menunjukkan situasi di Sri Lanka cukup serius. Pemerintah Sri Lanka disebut akan meneruskan arahan itu melalui komite kesehatannya. Bagi siapa pun yang meninggal karena Covid-19, apa pun latar belakangnya, harus dikremasi.
"Sekarang, tentu saja, ini bertentangan dengan prinsip iman Ibrahim yang mencakup Muslim, Kristen, dan Yahudi. Agama ini mengarahkan pengikutnya agar jenazah harus dikuburkan," lanjutnya.
Kondisi seperti ini disebeut tidak pernah terjadi di bagian mana pun di dunia. Sri Lanka adalah satu-satunya negara yang memberlakukan arahan ini. Hingga Jumat (1/1), lebih dari 103 Muslim telah dikremasi, termasuk bayi berusia 20 hari yang orang tuanya dinyatakan negatif.
Sacraine mengatakan kremasi umat Islam bertentangan dengan hak asasi manusia yang mendasar dalam komunitas. Tak hanya itu, keputusan tersebut juga bertentangan dengan konvensi internasional PBB, konvensi Eropa, maupun konvensi lain di seluruh dunia. Menghormati agama dan kepekaan beragama adalah yang terpenting.
Ia juga menggarisbawahi, komunitas Muslim di Sri Lanka telah melancarkan seruan hukum. Setelah banyak pertemuan dengan menteri dan perdana menteri, Muslim di sana gagal meyakinkan pemerintah jika tindakan ini tidak adil dan suatu bentuk penindasan terhadap komunitas.