REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak tergelincir dari tertinggi beberapa bulan menjadi berakhir jatuh lebih dari satu persen di hari pertama perdagangan tahun ini pada Senin (4/1) atau Selasa (5/1) pagi WIB. Jatuhnya harga minyak setelah OPEC+ gagal memutuskan tentang apakah akan meningkatkan produksi pada Februari dan sepakat untuk bertemu kembali pada Selasa waktu setempat.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret terpangkas 71 sen atau 1,4 persen, menjadi menetap di 51,09 dolar AS per barel, sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Februari merosot 90 sen atau 1,9 persen, menjadi ditutup pada 47,62 dolar AS per barel.
Di awal sesi, WTI mencapai level tertinggi sejak Februari dan Brent tertinggi sejak Maret. Premi Brent atas WTI mencapai tertinggi sejak Mei.
Indeks S&P 500 dan Dow juga turun dari level terendah ketika Presiden Donald Trump melakukan perjalanan ke Georgia dalam upaya untuk menjaga Senat AS di tangan Partai Republiknya menjelang pemilihan putaran kedua di negara bagian medan pertempuran itu.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, akan melanjutkan pembicaraan pada Selasa waktu setempat, setelah mencapai kebuntuan atas tingkat produksi minyak Februari saat Arab Saudi menentang pemompaan lebih banyak karena penguncian baru virus corona, sementara Rusia memimpin seruan untuk produksi yang lebih tinggi dengan alasan pulihnya permintaan.
“Apa pun bisa terjadi, tetapi Rusia mungkin tidak ingin kehilangan muka dan menyerah begitu saja. Sepertinya kami mungkin akan menjalani negosiasi yang panjang,” kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak di Rystad Energy.
Dalam pertemuan terakhir mereka, OPEC+ setuju untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 500.000 barel per hari mulai Januari dan mengatakan mereka akan bertemu setiap bulan, mulai Januari, untuk memutuskan penyesuaian produksi lebih lanjut untuk bulan berikutnya.