REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Pemerintah Iran mengumumkan telah melanjutkan pengayaan uranium hingga 20 persen di fasilitas nuklirnya di Fordow. Keinginan Iran itu tak sejalan dengan kesepakatan nuklir 2015 yang sebelumnya telah ditolak oleh Presiden AS Donald Trump.
"Beberapa menit yang lalu, proses produksi 20 persen uranium yang diperkaya telah dimulai di kompleks pengayaan Fordow," kata juru bicara Pemerintah Iran Ali Rabiei kepada media pemerintah Iran, Senin (4/1) waktu setempat.
Badan pengawas nuklir PBB mengonfirmasi bahwa Iran telah memulai proses pengayaan uranium hingga kemurniaan 20 persen di situs Fordow. "Iran hari ini mulai memproduksi uranium yang telah diperkaya hingga 4,1 persen U-235 ke dalam enam kaskade sentrifugal di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar Fordow untuk pengayaan lebih lanjut hingga 20 persen," kata International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam sebuah pernyataan pada sebuah laporan yang dikirim ke negara anggota.
Langkah tersebut merupakan salah satu dari isi dalam undang-undang yang disahkan oleh parlemen Iran pada bulan lalu. Langkah itu dibuat sebagai tanggapan atas pembunuhan ilmuwan nuklir terkemuka negara itu, yang dituduhkan oleh Teheran kepada Israel. Iran juga kecewa dengan dunia internasional yang justru menyudutkan mereka.
"Tindakan kami sepenuhnya dapat dibatalkan setelah kepatuhan PENUH oleh SEMUA (pihak dalam kesepakatan)," ujar Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif melalui Twitter resminya.
Iran menegaskan, kembali bahwa pihaknya dapat dengan cepat membalikkan pelangarannya itu jika sanksi AS dicabut. Biden berjanji AS akan bergabung kembali ke kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) jika Iran melanjutkan kepatuhan ketat dengan pakta tersebut.