REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Rizky Suryarandika, Amri Amrullah, Antara
Pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 110 triliun untuk penyaluran program bantuan sosial kepada masyarakat di seluruh daerah. Salah satu bentuk bantuan sosial (bansos) adalah bantuan sosial tunai (BST).
Kementerian Sosial tahun ini menganggarkan bansos tunai sebesar Rp 12 triliun kepada 10 juta keluarga penerima. Bantuan disalurkan kepada keluarga penerima secara utuh tanpa potongan.
Dari segi pemulihan ekonomi, bantuan tunai memang dipandang lebih efektif. Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, mengatakan efek ekonomi bantuan secara tunai lebih besar karena kebutuhan tiap penerima berbeda.
"Ada yang beli makanan, ada yang untuk bayar tagihan listrik dan keperluan lain. Harapannya langsung bisa dibelanjakan setelah bantuan diterima," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Selasa (5/1).
Penyaluran tunai diharapkan dapat mengurangi potensi korupsi, yang sebelumnya membayangi penyaluran bansos sembako. Hal ini karena seluruh transaksi tercatat di bank, dibandingkan dengan risiko suap dan penggelembungan dalam pengadaan sembako.
Kendati begitu, ia memperingatkan adanya risiko pungli oleh oknum di level daerah dalam penyaluran bantuan tunai. "Jadi pola bansos berubah, punglinya juga berubah dari hulu ke hilir. Aparat penegak hukum dan pengawas harus lebih sigap melihat celah ini," tutur Bhima.
Selain itu, perlu diingat bahwa literasi keuangan di Indonesia masih cukup rendah. Namun, penyaluran melalui PT Pos Indonesia dinilai tepat untuk menjangkau daerah miskin yang belum terjangkau bank.
Kerentanan BST juga disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengkritisi kebijakan pemerintah yang memilih penyaluran bantuan tunai. Menurut Agus, penggunaan BST rawan disalahgunakan oleh penerimanya.
Bansos dalam bentuk non-tunai yang selama ini disalurkan Kemensos bisa mengurangi penyalahgunaan oleh penerimanya. "Gampang disalahgunakan kalau tunai. Inilah yang pernah terjadi malah dipakai beli yang macam-macam seperti beli rokok. Terus tujuan bansos membantu masyarakat malah gagal," kata Agus.
Selain itu, Agus meminta Kemensos memperbaiki data penerima BST secara periodik. Untuk BST tahun ini, lanjut dia, perlu dirinci kategori mana yang memperolehnya.
"Mau diganti jadi tunai sama saja berdasarkan data. Mekanismenya apa? Pakai kartu PKH apa bagaimana," ujar Agus.
Agus menyarankan Kemensos lebih jeli dalam memilah para penerima BST agar tepat sasaran. Sebab nyaris semua orang terdampak perekonomiannya akibat pandemi Covid-19.
"Perlu ditekankan lagi untuk siapa? Apa untuk PKH atau seluruh warga Indonesia. Kalau dibilang terdampak semua orang terdampak tapi batasannya ini sampai mana. Datanya itu harus sahih dulu biar gampang," ucap Agus.
Pendataan yang lemah membuat penyaluran bantuan tunai berpeluang salah sasaran. "Urusan bansos sangat-sangat tergantung pada keabsahan data. Kadang belum lengkap, kadang belum benar dan belum pas kemungkinan korupsi akan muncul," kata Agus.
Agus meragukan Kemensos telah memiliki data yang valid soal para calon penerima BST. Agus yang pernah punya pengalaman betapa sulitnya mengurus data warga miskin di lingkungannya.
"Sudahkan data itu dibereskan? Belum. Pengalaman dua bulan bereskan data miskin di RW sendiri. Itu juga setelah hubungi Mensos, Gubernur, Wali Kota dan dinsos baru bisa sesuai. Itu baru di RW saya, RW lain bagaimana? Data yang dipakai yang 2015," ungkap Agus.
Agus meminta pemerintah terutama Kemensos menggunakan data yang valid dalam penyaluran BST. Hal ini guna mengindari kesalahan penyaluran.
"Datanya harus valid dulu. Data tahun berapa yang dipakai? Kalau data lama ya Wassalam. Ini sengaja oleh oknum tertentu untuk ambil duit," ujar Agus.