REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Syed Mohammad Ali, kolumnis yang juga antropolog, menulis artikel tentang sekularisme dan Muslim yang dimuat di laman The Express Tribune awal Januari ini.
Dia memulai tulisannya dengan menyampaikan bahwa banyak negara Muslim di seluruh dunia yang prihatin terhadap meningkatnya diskriminasi yang dihadapi Muslim di negara modern dan sekuler seperti Prancis.
Dengan mengesampingkan miopia yang menimpa negara-negara Muslim sendiri, apa yang terjadi pada Muslim di Prancis, yang dianggap sebagai teladan dari nilai-nilai pencerahan, ternyata menjadi isu yang memprihatinkan. Moto Revolusi Prancis Liberté, Egalité, Fraternité telah mengilhami reformasi pemerintahan di banyak tempat yang disebut dunia Barat.
Cita-cita untuk menciptakan rasa solidaritas nasional berdasarkan gagasan kebebasan dan kesetaraan ini berdampak besar pada pembangunan narasi masyarakat multikultural di seluruh Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Di tengah tekanan baru yang dibawa globalisasi, yang telah meningkatkan migrasi dan meningkatkan ketidaksetaraan kekayaan, kebutuhan untuk merangkul prinsip-prinsip penyetaraan seperti itu mengasumsikan relevansi yang lebih besar di negara-negara yang bertujuan untuk menawarkan kewarganegaraan yang inklusif kepada warga mereka yang beragam.
Selain aspirasi untuk menciptakan negara multikultural, banyak negara Barat juga menganut gagasan sekuler. Gagasan Laïcité, yang paling baik diterjemahkan sebagai sekularisme, juga telah diperjuangkan Prancis, yang mengeluarkan undang-undang pada 1905, untuk menetapkan pemisahan gereja dan negara.