REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini, komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.
"Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana, " ujar Erasmus A.T. Napitupulu selaku Direktur Eksekutif ICJR, Selasa (5/1).
Erasmus mengatakan, sedari awal ICJR tekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU Nomor 17/2016. Bahkan, sampai detik ini, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.
"Maka jelas pelaksanaannnya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," tuturnya.
Bahkan, dalam PP tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan. PP ini juga melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah.
Selain itu, lanjut Erasmus, dalam PP tersebut memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.
"Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih tehknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ujarnya.