REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Perajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah, Kota Bandarlampung menyiasati harga kedelai yang sedang tinggi dengan mengurangi ukuran ketebalannya sehingga dapat terus berproduksi.
"Salah satu cara untuk terus bertahan ya kita kurangi ketebalannya tapi tidak menaikkan harga jual di pasaran. Maksudnya ukuran plastik si tempe masih seperti dulu cuma isinya lebih tipis saja dan harga jual tetap," kata salah satu perajin tempe di Gunung Sulah, Suyitno, di Bandarlampung, Selasa (5/1).
Ia mengungkapkan bahwa harga kedelai impor saat ini berkisar Rp 9.000 per kilogram, dimana normalnya harga bahan pokok membuat tempe tersebut berkisar Rp 6.800 sampai Rp 7.000 per kilogramnya.
"Kenaikan harga kedelai ini sudah dari tiga bulan lalu. Naik harga bertahap dari Rp100, Rp200 hingga sekarang sampai Rp2.000 per kilogram naiknya," kata dia.
​​​​Menurutnya, hal tersebut cukuplah berat bagi perajin apalagi sekarang sedang dalam masa pandemi COVID-19 dimana rata-rata sudah mengurangi jumlah produksinya.
"Sebelum pandemi saya bisa produksi 80 kilogram sehari, di masa COVID-19 ini kita kurangi sedikit sekitar 60 kg sampai 70 kg sehari," kata dia.
Ia pun berharap harga kedelai ini kembali normal ataupun para perajin mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya dahulu.
"Dulu pernah juga harga kedelai naik tinggi, tapi waktu itu kami langsung mendapatkan subsidi dari pemerintah sampai harganya kembali normal baru dicabut bantuannya," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi menyebutkan naiknya biaya angkut dan transportasi turut menjadi faktor yang menyebabkan melonjaknya harga kedelai di pasar dunia.
"Faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor yakni ongkos angkut yang juga mengalami kenaikan. Waktu transportasi impor kedelai dari negara asal yang semula ditempuh selama 3 minggu menjadi lebih lama yaitu 6 hingga 9 minggu," kata Suwandi.