Rabu 06 Jan 2021 11:31 WIB

Fluktuasi Harga Kedelai Impor Disebut Masalah Klasik

Untuk bisa menyelesaikan masalah kedelai harus ada pembenahan dari hulu

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dari Rp.6.750 menjadi Rp.9.100 per kilogram dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual.
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dari Rp.6.750 menjadi Rp.9.100 per kilogram dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Edi Purwanto mengatakan, fluktuasi harga kedelai impor sebagai masalah klasik. Menurutnya, untuk bisa menyelesaikan masalah ini harus ada pembenahan dari hulu hingga hilir. Caranya adalah dengan mendorong kebangkitan petani kedelai lokal.

"Fluktuasi harga kedelai ini adalah masalah klasik dan untuk mengurainya harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Petani kedelai lokal harus dibangkitkan agar ketergantungan terhadap kedelai impor bisa ditekan," kata Edi di Surabaya, Rabu (6/1).

Edi menjabarkan, sepanjang 2020 produksi kedelai lokal secara nasional hanya 320 ribu ton. Sementara kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi kedelai Jatim pada 2020 sekitar 57.235. Adapum kebutuhan kedelai Jatim mencapai 447.912 ton per tahun.

"Kekurangan tersebut pastinya diperoleh dari impor dan jumlahnya sangat besar," ujarnya.

Edi kembali menegaskan, kebangkitan petani kedelai lokal menjadi sebuah keniscayaan untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Terlebih saat ini, sudah ada perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul dengan produktivitas yang cukup tinggi di Jember.

Edi menjelaskan, kedelai merupakan tanaman tropis, sehingga produktivitasnya rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektar, di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektar.

"Tapi dengan rekayasa pembenihan, prodiktivitas benih kedelai kualitas unggul di Jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektar," kata Edi.

Edi mengatakan, ada beberapa faktor kenapa kedelai lokal tidak diminati, baik oleh petani maupun oleh pengrajin tahu dan tempe. Pertama produktivitas kedelai lokal rendah, hanya sekitar 1,3 ton per hektar. Sementara biaya pengolahan tinggi, sehingga petani lebih memilih menanam padi dan jagung yang dianggap lebih menguntungkan.

"Di sisi lain, pengrajin tempe dan tahu juga kurang berminat karena kualitas dianggap rendah, biji kedelai kecil dan tidak rata serta kulit ari keras sehingga membutuhkan waktu lama dalam proses peragian," kata Edi.

Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto sangat antusias dan memberi dukung penuh kepada industri benih kedelai lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul. Karena dengan menggerakkan kembali petani kedelai lokal akan mampu mengurai persoalan fluktuasi harga kedelai impor yang berdampak luas kepada pengrajin tahu dan tempe dalam negeri.

"Ini harus dapat dukungan penuh. Kami juga akan berupaya menjembatani dengan pemerintah agar budidaya kedelai lokal kualitas unggul ini bisa disebarluaskan ke petani sehingga harapan swasembada kedelai nasional bisa tercapai," ujar Adik.

Seperti diketahui, fluktuasi harga kedelai impor kembali terjadi. Saat ini, harga kedelai impor di pasaran mencapai Rp 9.583 per kilogram, naik dibanding harga normal yang hanya sekitar Rp 6.800 per kilogram. Kondisi ini ditengarai akibat turunannya produksi negara pengekspor seperti Amerika dan tertutupnya jalur distribusi akibat pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement