REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Pinangki Sirna Malasari menyebut action plan untuk terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra berasal dari rekannya, pengusaha Andi Irfan Jaya. "Pertama, saya tidak buat action plan, saya tidak minta dibuatkan action plan, tetapi bulan Februari 2020 itu saya pernah di-forward oleh Andi Irfan," kata Pinangki dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Action plan yang dimaksud terdiri dari 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial BR sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan dan HA selaku pejabat di MA. Biaya pelaksanaan action plan itu awalnya 100 juta dolar AS, tetapi Djoko Tjandra hanya menyetujui 10 juta dolar AS.
"Kemudian action plan itu saya forward lagi ke Anita (Kolopaking). Anita mengatakan itu adalah action plan yang ditolak Djoko Tjandra pada Desember 2019, jadi waktu itu kita membahas mengenai penolakan bulan Desember tapi saya tidak membaca detailnya," kata Pinangki.
Atas pernyataan Pinangki itu, Jaksa Penuntut Umum meminta untuk menceritakan terkait penolakan action plan lebih dulu sebelum dikirim. "Yang mengirim kan bukan saya Pak," jawab Pinangki.
Pinangki mengaku membawa rekannya Andi Irfan Jaya untuk bertemu dengan Djoko Tjandra di kantornya di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 25 November 2019. Pertemuan itu juga dihadiri oleh advokat Anita Kolopaking.
Terkait hal tersebut, dalam nota pembelaan (pledoi), Andi Irfan juga membantah telah membuat action plan tersebut.
Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra. Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.
Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.