REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Uji Sukma Medianti
Penghuni Cluster Water Garden, Jalan Grand Wisata, Kelurahan Lambangjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, terlibat persengketaan yang serius dengan pengembang. Peristiwa itu bermula saat warga yang tinggal di klaster perumahan tersebut hendak membangun mushala.
Pemilik tanah sekaligus warga Cluster Water Garden, Rahman Kholid, mengaku, ia memang ingin mendirikan mushala di dalam lingkungan perumahan. Hanya saja, niatannya itu malah digugat oleh PT Putra Alvita Pratama selaku pengembang Water Garden.
Dasar gugatan pengembang kepada Rahman adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah Nomor 1000001477/PPJB/4EAA/VII/2015 tanggal 8 Juli 2015 telah berakhir atau hapus. Berdasarkan Pasal 6 PPJB, tanah yang menjadi objek perjanjian telah diserahterimakan kepada tergugat melalui berita acara serah terima tanah Nomor 02693/BAST-KAV/VIII/2018 tanggal 29 Agustus 2018.
Pasal 6 Ayat (6) PPJB itu menegaskan, sejak serah terima tanah dari penjual ke pembeli, segala beban dan biaya yang timbul terkait kepemilikan dan penggunaan tanah menjadi tanggungan pembeli. “Oleh karenanya, hal-hal tentang jual beli tanah telah selesai dan tujuan perjanjian tercapai, yaitu pembayaran telah dilunasi dan tanah telah diserahterimakan,” kata Rahman kepada Republika, Rabu (6/1).
Kedua, dalil penggugat bahwa tergugat tidak pernah meminta persetujuan tertulis mengenai desain, gambar konstruksi bangunan, dan pemborong yang melaksanakan pembangunan mushala. Hal itu dianggap pengembang melanggar PPJB Pasal 9 (4) huruf (b), yang menurut Rahman berlebihan.
Dia menyebut, fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) Cluster Water Garden telah diserahterimakan pengembang kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi. Dengan begitu, kata Rahman, kewenangan pendirian bangunan berada di tangan pemerintah sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 10 Tahun 2013 tentang IMB.
Rahman menegaskan, penggugat tidak memiliki kewenangan dan atau mengambil alih kewenangan badan hukum publik dengan tujuan tertentu. “Alasan tentang desain, konstruksi dan lainnya sangat berlebihan dan menunjukkan iktikad buruk, meniadakan hukum, dan mengambil hak dan kewenangan pemerintah,” katanya menegaskan.
Ketiga, Rahman menyebut, penggugat keliru memahami pemaknaan kebebasan beragama di Indonesia sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 dan 28E. Selanjutnya, dalil penggugat tidak beraturan, kabur, dan tidak jelas karena mencampuradukkan keberatan atas izin mendirikan tempat ibadah yang merupakan ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan gugatan wanprestasi.
Kelima, surat undangan penggugat kepada tergugat No. 01/undangan/SS/XI/2020 tanggal 24 November 2020 tidak sah karena kuasa penggugat tidak memiliki hak mengundang. “Makanya tidak ada alasan hukum tergugat menghadiri undangan itu,” ujar Rahman.
BACA JUGA: Cek Fakta: Beredar Video Menteri Agama Gus Yaqut Diusir di Riau, Benarkah?