REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Para pemimpin Arab pada Rabu menyambut baik hasil KTT Dewan Kerjasama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi yang mengarah pada rekonsiliasi antara Qatar dan negara-negara tetangganya setelah perseteruan selama bertahun-tahun.
KTT tersebut mempertemukan para pemimpin negara GCC beserta Mesir di mana mereka menandatangani perjanjian yang menegaskan persatuan dan kerja sama mereka. Presiden Irak Barham Salih menyambut baik rekonsiliasi Teluk, dia menyampaikan hal itu dalam percakapan via telepon pada Selasa malam dengan emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Saleh menekankan bahwa "penandatanganan deklarasi Al-Ula dan pernyataan akhir dari KTT Teluk untuk memperkuat GCC dan persatuan Teluk dan Arab secara umum," kata Kepresidenan Irak dalam sebuah pernyataan.
Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengatakan KTT Teluk menetapkan fase baru aksi bersama Arab, dan menegaskan bahwa "solidaritas antara saudara adalah senjata paling berharga dalam menghadapi tantangan".
"Kami menghormati upaya dan ketajaman para pemimpin Dewan Kerja Sama Teluk untuk menyatukan barisan dan mengatasi perbedaan, apa pun itu," ungkap Hariri.
Kepala Dewan Kepresidenan pemerintah Libya, Fayez al-Sarraj, menggambarkan dalam sebuah pernyataan bahwa deklarasi KTT itu sebagai "langkah ke arah yang benar yang mengarah pada persatuan Arab dan berkontribusi secara efektif untuk mencapai keamanan dan stabilitas di Libya, dan mengakhiri semua hal negatif".
Al-Sarraj memberikan selamat kepada para pemimpin di kawasan Teluk "atas pencapaian penting dan besar ini". KTT Teluk itu berlangsung satu hari setelah Kuwait mengumumkan bahwa Arab Saudi dan Qatar mencapai kesepakatan untuk membuka kembali wilayah udara serta perbatasan darat dan laut antara kedua negara.
Krisis Teluk meletus pada Juni 2017, ketika Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memberlakukan blokade terhadap Qatar, menuduhnya mendukung terorisme, yang dibantah oleh Doha, dan menganggapnya sebagai upaya untuk merusak kedaulatannya.