REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Usai sholat Subuh, saya langsung bergegas menuju kantor Kejaksaan Agung di Jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kali ini saya tidak menggunakan seragam kantor, baju biru. Kemeja lengan panjang biru, saya masukkan ke dalam tas. Celana hitam tetap saya gunakan. Seragam Media Group, biru hitam. Sama sekali mengganggu jika harus melakukan investigative reporting.
Pada pertengahan 2002, status kewartawanan saya ada di dua tempat, yaitu di Media Indonesia dan Metro TV. Saya punya kartu pers dua dan seragam dua pula. Gaji dua pula. Jelang proses penugasan sebagai kepala biro Metro TV dan Media Indonesia di Medan, Sumatra Utara. Rapat redaksi pun hadir di dua newsroom.
Hari itu, saya izin tidak jadi 'bos', yang kerjanya bisa empat kali rapat (pagi, siang, sore, malam). Saya pilih ke lapangan. Tempat yang paling mengasyikan daripada di newsroom. Sasaran yang saya bidik adalah Prof Rahardi Ramelan. Bekas Menristek era terakhir pemerintahan Presiden Soeharto, serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden BJ Habibie. Merangkap sebagai Kepala Bulog.
Sesuai jadwal, Rahardi Ramelan akan diperiksa di gedung bundar kejaksaan. Saya memilih nongkrong di kejaksaan sebelum matahari terbit. Rahardi benar datang di pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB. Saya tidak tertarik bergabung dengan kerumunan wartawan, pagi itu. Saya cuma ingin melihat gestur bekas pejabat tinggi negara tersebut.
Saat wartawan lain mengerumuninya, saya justru fokus ke mobil Rahardi. Saya catat nomor kendaraannya dan saya sedikit berlari kecil mengikuti ke mana mobil tersebut diparkir. Saya amati terus mobil itu di parkiran. Saya tunggu sampai sopirnya keluar.
Begitu sopir keluar dari mobil bosnya, saya ikuti gerak geriknya. Rupanya menuju kantin dekat masjid. Saya ikut masuk ke kantin dan mengambil posisi duduk berdekatan. Ikut sarapan juga, karena memang belum sarapan pula. Aksi SKSD (sok kenal sok dekat) mulai dilancarkan. "Mas, sepertinya kita pernah kenal, di mana ya? Mas, sopirnya pejabat tinggi kan?"
Dari situ, keakraban dimulai. Sang sopir mengaku sesama sopir pejabat tinggi. Secara psikologis, dia merasa nyaman. Saya pun sengaja membayar sarapannya sambil terus menggali informasi. Tentu saja ingin tahu, ke mana selanjutnya agenda bosnya hari ini, usai pemeriksaan di kejaksaan?
Kalau saya ikut doorstop mewawancarai Rahardi bersama kerumunan wartawan, pasti hanya dapat info recehan. Saya lihat sudah ada wartawan Media Indonesia dan Metro TV, serta sejumlah wartawan dari berbagai media. Saya cuma titip pesan pada wartawan Media Group, tetap jaga terus sampai yang bersangkutan keluar kejaksaan.
Sore hari, pemeriksaan selesai. Rahardi langsung meninggalkan gedung bundar. Tak ada wawancara, hanya basa-basi, dan wartawan hanya dapat lambaian tangan saja. Padahal sudah menunggu sejak pagi hari.
Saya langsung naik taksi menuju Senayan, seperti informasi dari sopirnya. Sasaran menuju kolam renang Senayan. Rahardi adalah ketua umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI). Saya segera masuk ke area kolam renang. Ruangannya banyak pintu-pintu berkaca, sehingga saya bisa lihat Rahardi sedang istirahat di pinggir kolam renang.
Ia didampingi beberapa orang dekatnya. Akhirnya dia berenang sendirian. Saat itu juga saya beli celana renang dan handuk mandi. Saya perhatikan rute dia berenang. Kerap berhenti di ujung setelah berenang berjarak 50 meter.
Saya manfaatkan masuk ke kolam dan berenang. Awalnya melawan arus dari arah dia berenang. Lama-lama coba mendekat. Pengawalnya tentu tidak curiga. Akhirnya saat sasaran berhenti, saya ikut berhenti.
Obrolan di dalam kolam renang di bagian tepi. Wawancara dimulai dari soal renang dan PRSI, serta yang ringan-ringan sebagai basa-basi. Perlahan masuk ke pertanyaan utama. "Bapak merasa dijadikan tumbal politik?"
"Kabulog ini jabatan sial. Siapa yang menikmati, kok saya yang jadi korban," jawab Rahardi, kesal. Saya tahu matanya berkaca-kaca, tapi tertutup oleh air kolam renang yang membasahi wajahnya. "Saya korban politik tingkat tinggi."